TUTWURI ANDAYANI


Selasa, 22 Februari 2011

Adap Memberi Nama Anak

Nama adalah jatidiri seseorang yang dengannya dia dikenal. Dan bila ia adalah sebutan yang baik maka siapapun akan menyukainya, begitu pula sebaliknya. ajaran Islam, memberikan perhatian khusus tentang hal ini.

Mengenai pemberian nama, terdapat riwayat yang masih diperselisihkan para ulama hadits kualitasnya, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abu Darda': "Sesungguhnya kalian akan dipanggil dengan nama kamu dan nama bapakmu pada Hari Kiamat nanti, maka dari itu pilihlah nama-nama yang baik bagimu".

Diantara ulama hadits ada yang mengatakan bahwa hadits ini dho'if (lemah); pendapat ini lebih kuat karena berdasarkan penelitian dan studi kritik hadits, ada juga yang mengatakan jayyid (bagus); seperti yang dikatakan oleh Imam an-Nawawi dalam kitabnya al-Adzkaar, ada yang mengatakan hasan (di bawah kualitas shahih); seperti Ibnul Qoyyim.

Terlepas dari polemik tentang kualitas hadits tersebut, namun ada hadits lain yang shahih yang dapat disimpulkan mengarah ke makna tersebut : diantaranya;

a). diriwayatkan dari al-Musayyib bin Hazn dari kakeknya yang berkata: "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepadaku: "siapa namamu?". 'Hazn!' (artinya; sedih-red) jawabku. Beliau bersabda: "tidak, namamu adalah Sahal سهل ". (artinya: Mudah-red). Kakekku berkata: 'aku tidak akan merubah nama pemberian orangtuaku!. Sa'id bin al-Musayyib berkata: 'Kami terus dirundung kesedihan sejak saat itu sampai sekarang" (H.R.Bukhari).

b). Diriwayatkan dari Muthi' bin al-Aswar bin Haritsah, ia berkata: 'saya mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda pada saat penaklukan kota Mekkah:"Tidak akan ada seorang Quraisy pun yang dibunuh secara keji setelah hari ini sampai hari kiamat. Tidak ada seorang pun yang memeluk Islam dari kalangan orang jahat Quraisy kecuali Muthi' مطيـع ". Nama aslinya adalah al-'Aash (artinya: pelaku maksiat-red) lalu Rasulullah mengganti nama tersebut menjadi Muthi' (artinya: Orang yang taat/patuh-red). (H.R. Muslim).

Oleh karena itu kita harus menghindarkan nama-nama yang jelek dan tidak Islami seperti nama yang ke-Barat-baratan.
Dapat disimpulkan dari hadits-hadits yang ada bahwa kita dianjurkan memberi nama anak dengan nama-nama yang baik dan apa yang disebutkan dalam hadits-hadits tersebut nampaknya hanya sebagai contoh saja dan spontanitas yang dialami oleh Rasulullah dimana, ketika beliau menjumpai nama yang tidak bagus lantas, menggantinya dengan yang bagus. Dalam hadits-hadits tersebut, dijelaskan bahwa nama yang paling disukai oleh Allah adalah 'Abdullah dan Abdurrahman. (H.R.Muslim). Para ulama menyimpulkan bahwa penyebutan hanya dengan dua nama tersebut bukan dimaksudkan sebagai pembatasan. Karenanya boleh memberikan nama dengan Asma-Asma Allah lainnya akan tetapi dengan menambahkan kata " 'Abdu" di depannya.

Kriteria dalam memberi nama

Ada beberapa kriteria yang harus diperhatikan dalam memberi nama:

Pertama, Hendaklah memilih nama yang baik

Kedua, Memilih nama yang paling disukai atau mendekatinya

Ketiga, Menjauhi nama-nama yang tidak disukai

Keempat, Tidak menamakan dengan nama-nama yang berindikasi syirik, seperti nama-nama sesembahan selain Allah; 'Abdun Nabi, Abdu 'Ali, 'Abdul Ka'bah, Malikul mulk, Sayyidun Nas, Sayyidul Kulli, dan lain-lain.

Waktu pemberian nama

Waktunya adalah pada hari ketujuh dari kelahiran anak berdasarkan hadits Samurah bin Jundub bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Setiap anak tergadai dengan 'aqiqahnya, yang harus disembelih pada hari ketujuh setelah kelahirannya, dicukur rambutnya dan diberi nama". (H.R.Abu Daud).Al-Sofwa

Nama - Nama Yang Islami -1

Nama Anak-Anak Putri


ALIF (الألف)

1. Atiah : آتِيَة : yang datang
2. Azifah : آزِفَة : yang mendekat ; nama lain dari hari Kiamat
3. Asiah : آسِيَة : nama isteri Fir’aun yang beriman kepada Allah; ahli dalam pengobatan
4. Aminah : آمِنَة : Nama ibu Rasulullah; yang aman
5. Abiyyah : أَبِيَّة : yang menolak kehinaan; punya kepribadian yang kokoh
6. Atsilah : أَثِيْلَة : yang berakar; mempunyai keturunan yang baik
7. Ahlam :أَحْلاَم : jamak dari hulm ; mimpi
8. Adibah :أَدِيْبَة : sastrawati
9. Arja : أَرْجَى : lebih diharapkan
10. Aribah :أَرِيْبَة : yang berakal; pandai
11. Aridhah : أَرِيْضَة : yang bersih, terang ; mengesankan
12. Arij :أَرِيْج : bau yang sedap
13. Arikah : أَرِيْكَة : permadani yang dihias
14. Azka : أَزْكَى : lebih suci, bersih
15. Azaliyyah : أَزَلِيَّة : yang bersifat azaly, dari sejak dulu
16. Asma’ : أَسْمَاء : jamak dari ism ; nama
17. Asma : أَسْمَى : lebih mulia, tinggi
18. Asywaq : أَشْوَاق : jamak dari syauq ; kerinduan
19. Ashilah : أَصِيْلَة : yang asli, orisinil
20. Adhwa’ : أَضْوَاء : jamak dari dha-u’ ; cahaya
21. Agharid : أَغَارِيْد : jamak dari ughrudah : kicauan burung
22. Afanin : أَفَانِيْن : daun yang lembut; jenis perkataan yang khas
23. Afrah : أَفْرَاح : jamak dari farhah : kegembiraan; pesta
24. Afkar : أَفْكَار : jamak dari fikr : pemikiran
25. Afnan : أَفْنَان : Cabang pohon
26. Alfiyyah : أَلْفِيَّة : dinisbatkan kepada kata alf : ribuan
27. Althaf : أَلْطَاف : taufik, lembut
28. Amany : أَمَانِي : jamak dari umniyah : cita-cita
29. Amjad : أَمْجَاد : Maruwah; kedermawanan; keagungan
30. Amirah : أَمِيْرَة : pemimpin
31. Anisah : أَنِيْسَة : yang lembut; jinak
32. Aniqah : أَنِيْقَة : indah menawan
33. Ibtisamah : اِبْتِسَامَة : senyuman
34. Ibtihaj : اِبْتِهَاج : keceriaan, kegembiraan
35. Ibtihal : اِبْتِهَال : memohon/berdoa (kepada Allah)
36. Ihtisyam : اِحْتِشَام : malu
37. Ihtifa’ : اِحْتِفَاء : sambutan penu
38. Ihtima’ : اِحْتِمَاء : berlindung, bertahan
39. Ihtiwa’ : اِحْتِوَاء : mencakup, mengandung (sesuatu)
40. Irtiqa’ : اِرْتِقَاء : meningkat
41. Irtiyah : اِرْتِيَاح : puas, senang
42. Izdihar : اِزْدِهَار : maju, berkembang
43. Istifadah : اِسْتِفَادَة : mengambil faedah, memanfaatkan
44. Isytihar : اِشْتِهَار : terkenal, masyhur
45. Iftikhar :اِفْتِخَار : bangga
46. Imtitsal : اِمْتِثَال : menjalankan perintah
47. Imtidah : اِمْتِدَاح : memuji
48. Imtinan : اِمْتِنَان : Rasa syukur dan penghargaan; menyebut keutamaan diri
49. Intishar : اِنْتِصَار : kemenangan
50. Intima’ : اِنْتِمَاء : berafiliasi (kepada)
51. In’am : إِنْعَام : penganugerahan
52. Inas : إِيْنَاس : penjinakan; melembutkan hati; Yakin
53. Umamah : أُمَامَة : nama anak tiri Rasulullah (anak Ummu Salamah); onta yang berjumlah tiga ratus
54. Umaimah : أُمَيْمَة : Diminutif (tashgir) dari kata Umm (ibu)
55. Unsyudah : أُنْشُوْدَة : syair yang dilantunkan.

BA’ (الباء )

1. Bahitsah : بَاحِثَة : Yang mencari; mengkaji/meneliti
2. Badirah : بَادِرَة : Yang bersegera
3. Badiyah : بَادِيَة : yang tampak; perkampungan di pelosok
4. Bazilah : بَاذِلَة : yang membanting tulang, berupaya keras
5. Barrah : بَارَّة : yang berbakti (kepada kedua orangtuanya, dll); yang berbuat baik
6. Bari’ah : بَارِعَة : yang menonjol, unggul, cemerlang
7. Bariqah : بَارِقَة : yang berkilau; awan yang berkilat
8. Bazigha : بَازِغَة : yang muncul
9. Basilah : بَاسِلَة : yang berani
10. Basimah : بَاسِمَة : yang tersenyum
11. Balighah : بَالِغَة : yang sudah mencapai usia baligh
12. Bahirah : بَاهِرَة : Yang bercahaya
13. Bahiyah : بَاهِيَة : wajah yang ceria
14. Bahriyyah : بَحْرِيَّة : yang dinisbatkan kepada bahr : laut
15. Badriyyah : بَدْرِيَّة : yang dinisbatkan kepada badr : bulan purnama
16. Badi’ah : بَدِيْعَة : yang cantik, indah
17. Badilah : بَدِيْلَة : pengganti
18. Badinah : بَدِيْنَة : yang gemuk
19. Bari`ah : بَرِيْئَة : yang selamat, terbebas dari ikatan, polos tidak berdosa
20. Barokah : بَرَكَة : keberkahan; pertumbuhan; pertambahan
21. Basmah : بَسْمَة : senyuman
22. Basyirah : بَشِيْرَة : yang menyampaikan kabar gembira
23. Balqis : بَلْقِيْس : nama Ratu negeri Saba’ pada masa Nabi Sulaiman 'alaihissalaam
24. Balighah : بَلِيْغَة : yang fashih, amat sangat mengena
25. Bahjah : بَهْجَة : kegembiraan, keceriaan
26. Bahirah : بَهِيْرَة : wanita yang terhormat
27. Bahiyyah : بَهِيَّة : yang cantik; bersinar; berkilau
28. Baydla` : بَيْضَاء : yang putih
29. Butsainah : بُثَيْنَة : (diminutif dari Batsnah) ; wanita yang cantik
30. Buraidah : بُرَيْدَة : (diminutif dari bard); dingin ; nama sebuah tempat/propinsi di Arab Saudi


TA’ (التاء)

1. Tâiqah : تَائِقَة : yang merindu, sangat menginginkan sesuatu
2. Tâbi’ah : تَابِعَة : yang mengikuti
3. Tâsi’ah : تَاسِعَة : yang kesembilan
4. Tâliyah : تاَلِيَة : yang membaca (al-Qur’an); yang berikutnya, yang mengikuti
5. Tabrîz : تَبْرِيْز : yang lebih unggul; penampakan
6. Tahiyyah : تَحِيَّة : ucapan selamat
7. Tarbiyah : تَرْبِيَة : mendidik, pendidikan
8. Tarqiyah : تَرْقِيَة : meningkatkan, peningkatan
9. Tazkiyah : تَزْكِيَة : menyucikan (diri); penyucian (diri); rekomendasi
10. Tasliyah : تَسْلِيَة : menghibur, hiburan
11. Taghrîd : تَغْرِيْد : kicau burung
12. Taqiyyah : تَقِيَّة : yang taqwa
13. Talîdah : تَلِيْدَة : klasik
14. Tamîmah : تَمِيْمَة : penciptaan yang sempurna; perlindungan
15. Tawaddud : تَوَدُّد : cinta kasih
16. Tahâni : تَهَانِي : jamak dari kata tahni-ah ; ucapan selamat
17. Taima’ : تَيْمَاء : padang sahara; nama lembah di bagian utara jazirah Arab

TSA’ (الثاء)


1. Tsâbitah : ثَابِتَة : yang kokoh; teguh hati; lurus
2. Tsariyyah : ثَرِيَّة : yang kaya
3. Tsurayya : ثُرَيَّا : kumpulan bintang
4. Tsuaibah : ثُوَيْبَة : nama wanita penyusu Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam ; diminutif dari tsawâb (pahala)


JÎM (الجيم)

1. Jâizah : جَائِزَة : hadiah, orang yang membolehkan
2. Jasîmah : جَسِيْمَة : yang besar badannya, gemuk
3. Jamîlah : جَمِيْلَة : yang cantik
4. Jalîlah : جَلِيْلَة : yang tinggi, mulia, agung
5. Jauharah : جَوْهَرَة : mutiara
6. Jahra’ : جَهْرَاء : yang bersuara lantang, jelas
7. Jaida’ : جَيْدَاء : leher yang jenjang
8. Jinân : جِنَان : (kata jamak dari jannah) taman, kebun, surga
9. Jumânah : جُمَانَة : butir mutiara yang besar
10. Juwairiyyah : جُوَيْرِيَّة : nama salah seorang Isteri Rasulullah

AL-HA’ (الحاء)

1. Habibah : حَبِيْبَة : Kekasih; tersayang
2. Hasanah : حَسَنَة : Perkataan atau perbuatan yang baik
3. Hasibah :حَسِيْبَة : Yang memiliki keturunan terpandang
4. Hasna` : حَسْنَاء : Cantik; indah; molek
5. Hakimah : حَكِيْمَة : yang bijaksana
6. Halwa : حَلْوَى : manisan
7. Halimah : حَلِيْمَة : Yang sabar, lembut; wanita yang menyusui Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam
8. Hamdunah : حَمْدُوْنَة : Yang memiji; yang bersyukur
9. Hamidah : حَمِيْدَة : Yang tingkah lakunya terpuji
10. Hannan : حَنَّان : Yang banyak mengasihi; kelembutan hati
11. Hanin : حَنِيْن : Yang penuh kasih sayang
12. Hawwa` : حَوَّاء : yang mengandung sesuatu; isteri Nabi Adam
13. Haura` : حَوْرَاء : Wanita berkulit putih yang memiliki mata yang sangat hitam
14. Husna : حُسْنَى : Kesudahan yang menyenangkan
15. Hamnah : حَمْنَة : Kemudahan
16. Hishshah : حِصَّة : Bagian; jenis mutiara
17. Husniyah :حُسْنِيَّة : Yang bersifat baik
18. Hulwah : حُلْوَة : Mata atau mulut yang indah; manis
19. Humaira` : حُمَيْرَاء : Diminutif (tashghir) dari kata ‘Hamra`’ (yang kemerah-merahan)
20. Huriyah : حُوْرِيَّة : Bidadari surga; wanita cantik
21. Hazimah : حَازِمَة : Yang memiliki keteguhan hati dan keyakinan diri; bersikap tegas
22. Hafizhah :حَافِظَة : Yang memelihara, menjaga diri
23. Hamidah : حَامِدَة : Yang bersyukur; yang memuji


AL-KHÂ’ (الخاء)

1. Khatimah : خَاتِمَة : Kesudahan atau penghabisan sesuatu
2. Khathirah : خَاطِرَة : Pikiran atau rasa yang melintas didalam hati
3. Khalidah : خَالِدَة : Abadi
4. Khalidiyah : خَالِدِيَّة : Yang menisbatkan kepada ‘khalidah’
5. Khalishah : خَالِصَة : Murni, bening
6. Khashibah : خَصِيْبَة : Banyak kebaikan; subur
7. Khadhra` : خَضْرَاء : Hijau; langit.
8. Khulashah : خُلاَصَة : Kesimpulan; ringkasan
9. Khamilah : خَمِيْلَة : Beludru; hutan belukar
10. Khansa : خَنْسَاء : Yang memiliki hidung mancung; wanita yang baik
11. Khaulah : خَوْلَة : Rusa betina
12. Khairiyah : خَيْرِيَّة : Yang memiliki sifat baik
13. Khizanah : خِزَانَة : Harta yang disimpan; lemari


AD-DÂL (الدال)

1. Daliyah : دَالِيَة : Pohon anggur
2. Danah : دَانَة : Batu mulia
3. Daniyah : دَانِيَة : Dekat
4. Dalilah : دَلِيْلَة : Bukti; jalan yang terang
5. Dauhah : دَوْحَة : Hujan yang turun terus-menerus dan tidak lebat
6. Daulah : دَوْلَة : Negara; pemerintahan
7. Daumah : دَوْمَة : Pohon yang lebat; kelangsungan
8. Dayyinah : دَيِّنَة : Taat beragama
9. Diyanah : دِيَانَة : Agama
10. Dimah : دِيْمَة : Hujan yang turun terus-menerus
11. Durrah : دُرَّة : Mutiara yang besar
12. Durriyah : دُرِّيَّة : Dinisbahkan kepada ‘Durrah’



ADZ-DZÂL (الذال)

1. Dzakirah : ذَاكِرَة : Yang berzikir; yang selalu ingat
2. Dzakiyyah : ذَكِيَّة : Cerdas
3. Dzahabiyyah : ذَهَبِيَّة : Yang memiliki sifat emas
4. Dzikra : ذِكْرَى : Ingatan; ketenangan
5. Dzihniyyah : ذِهْنِيَّة : Menurut akal
6. Dzu`abah : ذُؤَابَة : Rambut yang dikepang; jambul

AR-RÂ’ (الراء)

1. Ra`idah : رَائِدَة : Pemandu; penunjuk jalan
2. Rabihah : رَابِحَة : Yang beruntung
3. Rabi`ah : رَابِعَة : Subur; keempat
4. Rabiyah : رَابِيَة : Permukaan tanah yang menonjol
5. Rajihah : رَاجِحَة : Yang utama; yang diprioritaskan
6. Rajiyah : رَاجِيَة : Yang mengharapkan
7. Rasikhah : رَاسِخَة : Yang tegar; yang kuat; yang tetap
8. Rasiyah : رَاسِيَة : Yang tegar; yang kuat
9. Rasyidah : رَاشِدَة : Yang matang pikirannya
10. Radhiyah : رَاضِيَة : Yang rela; yang merasa puas
11. Raghibah : رَاغِبَة : Yang menyayangi
12. Raghidah : رَاغِدَة : Yang hidupnya enak
13. Raqiyah : رَاقِيَة : Yang tinggi
14. Raniyah : رَانِيَة : Yang memandang dengan terpesona
15. Rabwah : رَبْوَة : Tanah yang mendaki
16. Rajwa : رَجْوَى : Permohonan
17. Rajiyyah : رَجِيَّة : Yang diharapkan
18. Rahimah : رَحِيْمَة : Penyayang; pengasih
19. Rasmiyyah : رَسْمِيَّة : Menurut resmi; dinisbatkan kepada ‘rasm’ (tulisan)
20. Rasyidah : رَشِيْدَة : Yang dibimbing; diberi petunjuk
21. Rashafah : رَصَافَة : Taman disekitar kota
22. Rashanah : رَصَانَة : Kewibawaan; ketenangan
23. Radhwa : رَضْوَى : Keridhaan; nama bukit yang terletak diantara Madinah Dan Yanbu`
24. Radhiyyah : رَضِيَّة : Yang puas
25. Raghdah : رَغْدَة : Kehidupan yang damai
26. Raghibah : رَغِيْبَة : Anugerah yang banyak; yang disenangi
27. Raghidah : رَغِيْدَة : Air susu; buih
28. Rafidah : رَفِيْدَة : Yang diberi pertolongan
29. Rafi`ah : رَفِيْعَة : Yang tinggi
30. Rafiqah : رَفِيْقَة : Istri; pendamping
31. Ramziyyah : رَمْزِيَّة : Simbolik
32. Rana : رَنَا : Sesuatu yang indah dan enak dipandang
33. Rawdhah : رَوْضَة : Taman yang banyak pepohonannya
34. Raihanah : رَيْحَانَة : Wanita yang baik jiwanya
35. Rifqah : رِفْقَة : Perkumpulan; himpunan; nama istri Ishaq atau ibu Yaqub
36. Riqqah : رِقَّة : Kasih sayang; rasa malu; kelembutan
37. Ridah : رِيْدَة : Angin semilir

Az-Zây (الزاي)

1. Zahirah : زاهرة : Cemerlang; Bercahaya
2. Zakiyyah : زَكِيَّة : Yang beruntung
3. Zahra` : زَْهْرَاء : bentuk muannats (gender) dari kata Azhar; wajah yang cemerlang; bulan; julukan Fathimah, putri Rasulullah
4. Zahrah : زَهْرَة : Bunga; keindahan
5. Zahidah : زَهِيْدَة : Yang utama; yang diprioritaskan
6. Zahiyyah : زَهِيَّة : Yang bersinar; cemerlang
7. Zainab : زَيْنَب : Nama putri dan isteri Rasulullah
8. Zubaidah : زُبَيْدَة : diminutif dari kata Zubdah ; intisari dari sesuatu
9. Zulfa : زلفى : Kedudukan, derajat;dekat;taman
9. Zuhdiyyah : زُهْدِيَّة : Dinisbahkan kepada kata Zuhd
10. Zuhrah : زُهْرَة : Putih mengkilat; warna yang bening


As-Sîn (السين )

1. Sabikah :سَبِيْكَة : Batang emas yang dilebur
2. Sa`danah : سَعْدَانَة : Burung dara; bahagia
3. Sa`diyah :سَعْدِيَّة : Yang menisbatkan kepada kata-kata sa`ad (kebahagiaan)
4. Sa`adah :سَعَادَة : Kebahagiaan; Kesenangan
5. Sa`idah :سَعِيْدَة : Yang berbahagia; yang hidupnya enak
6. Sakinah :سَكِيْنَة : Tenang; berwibawa; lembut
7. Salsabil :سَلْسَبِيْل : Nama mata air di surga; air yang sedap
8. Salma : سَلْمَى : Selamat; sehat; nama pohon
9. Salwa : سَلْوَى : Madu; burung berwarna putih mirip seperti burung layang-layang
10. Samahah : سَمَاحَة : Kelapangan dada; kehormatan; kemudahan; gelar bagi seorang mufti
11. Samihah : سَمِيْحَة : Yang tolerans; yang mulia
12. Samirah : سَمِيْرَة : Yang Mengobrol di waktu malam
13. Saniyyah : سَنِيَّة : Berkedudukan tinggi; yang bersinar
14. Saudah : سَوْدَة : Harta melimpah; nama istri Nabi Muhammad saw
15. Sausan : سَوْسَن : Tumbuhan yang harum baunya dan banyak jenisnya
16. Sulthanah : سُلْطَانَة : Pemimpin wanita
17. Sumayyah : سُمَيَّة : Berkedudukan tinggi; yang bersinar
18. Suha : سُهَا : Bintang kecil yang cahayanya tersembunyi
19. Suhailah : سُهَيْلَة : (Diminutif sahlah) Mudah.
20. Sabiqah : سَابِقَة : Yang terlebih dahulu
21. Satirah : سَاتِرَة : Yang menutupi (seperti aib suaminya)
22. Sajidah : سَاجِدَة : Yang bersujud
23. Sarrah : سَارَّة : nama istri Ibrahim; yang bergembira
24. Salimah : سَالِمَة : Yang terhindar dari cacat; yang sehat
25. Samiyah : سَامِيَة : Tinggi; terhormat.
26. Sahirah : سَاهِرَة : Tanah lapang yang mudah dijejaki; tanah lurus dan putih; mata air; bulan; yang berjaga malam

ASY-SYÎN (الشين)

1. Syarifah : شَرِيْفَة : Yang mulia; yang terhormat
2. Syafi`ah : شَفِيْعَة : Perantara; yang memberi syafat
3. Syafiqah : شَفِيْقَة : Yang menaruh belas kasihan; iba hati; yang lemah lembut
4. Syamma` : شَمَّاء : Yang berhidung mancung
5. Syahba` : شَهْبَاء : Pasukan yang bersenjata lengkap
6. Syahla` : شَهْلاَء : Yang memiliki mata kebiru-biruan
7. Syahidah : شَهِيْدَة : Wanita yang mati syahid
8. Syahirah : شَهِيْرَة : Yang termashur
9. Syaima` : شَيْمَاء : Yang bertahi lalat; putrid halimah Sa`diyah, saudara sesusuan Nabi saw
10. Syukriyyah : شُكْرِيَّة : Yang memiliki sifat syukur


ASH-SHÂD (الصاد)


1. Shabirah : صَابِرَة : Yang bersabar
2. Shahibah : صَاحِبَة : Istri; pendamping
3. Shadiqah : صَادِقَة : Benar; jujur
4. Sha`idah : صَاعِدَة : Yang meninggi; yang mulai menonjol
5. Shalihah : صَالِحَة : Yang memiliki keahlihan; kelayakan atau keutamaan
6. Shabihah : صَبِيْحَة : Wajah yang berseri-seri; waktu pagi hari raya
7. Shadiqah : صَدِيْقَة : Teman; sahabat
8. Sha`dah : صَعْدَة : Sungai yang lurus; tanjakan
9. Shafiyyah : صَفِيَّة : Yang bersih; jernih; murni; nama salah seorang istrI Nabi saw
10. Shiddiqah :صِدِّيْقَة : Yang banyak kebenarannya


ADL-DLÂD (الضاد)

1. Dhari`ah : ضَارِعَة : Yang kecil mungil; yang masih muda; yang merendahkan diri (arti positif)
2. Dhafiyah : ضَافِيَة : Yang lebat (rambutnya)
3. Dhamrah : ضَامِرَة : Yang halus kulitnya
4. Dhaminah : ضَامِنَة : Yang menjamin; komitmen
5. Dhawiyah : ضَاوِيَة : Yang bercahaya; kurus
6. Dhahwah : ضَحْوَة : Waktu Dhuha
7. Dhaifah : ضَيِّفَة : Tamu wanita
8. Dhifaf : ضِفَاف : (Jama` dari Dlaffah) Pinggiran sungai; tebing lembah; suatu kelompok

ATH-THÂ` (الطاء)

1. Thalibah : طَالِبَة : Yang menuntut ilmu; yang menyenangi sesuatu
2. Thamihah : طَامِحَة : Yang ambisi untuk mencapai puncak
3. Thahirah : طَاهِرَة : Suci; bersih; mulia; terlindungi dari maksiat dan kehinaan
4. Thahiyah : طَاهِيَة : Tukang masak yang pandai
5. Tharfa` : طَرْفَاء : Yang baik, yang langka
6. Tharifah : طَرِيْفَة : Yang jarang ada; aneh, lucu
7. Thariyyah : طَرِيَّة : Yang empuk; lunak; lembab
8. Thalawah : طَلاَوَة : Yang baik, ceria
9. Thalihah : طَلِيْحَة : Yang cantik dan mengagumkan
10. Thali`ah : طَلِيْعَة : Pelopor; perintis
11. Thaibah : طَيِّبَة : Negeri yang subur dan tentram.


AZH-ZHÂ` (الظاء)

1. Zhafirah : ظَافِرَة : Yang beruntung; yang menang
2. Zha’inah : ظَاعِنَة : Yang bepergian
3. Zhahirah : ظَاهِرَة : Jelas; unggul; menang
4. Zhabyah : ظَبْيَة : Kijang betina
5. Zharifah : ظَرِيْفَة : Yang lembut dan halus
6. Zhafrah : ظَفْرَة : Kemenangan
7. Zhalilah : ظَلِيْلَة : Taman yang banyak pepohonannya
8. Zhufairah : ظُفَيْرَة : Yang banyak mendapatkan kemenangan

AL-‘AIN (العين)


1. A`idah : عائدة : Yang datang; anugerah; keuntungan; manfaat
2. Abidah : عابدة : Yang taat; yang beribadah; kepada Allah
3. ‘Abirah : عَابِرَة : Pelalu lalang; yang sedih (berlinang air mata)
4. ‘Atikah : عَاتِكَة : Yang jernih; mulia
5. ‘Adilah : عَادِلَة : Yang berbuat adil
6. ‘Arifah : عَارِفَة : Yang mengetahui; anugerah
7. ‘Asilah : عَاسِلَة : Yang mengambil madu dari tempatnya; yang berbuat baik
8. ‘Ashimah : عَاصِمَة : Ibu kota suatu negara; yang menjaga suami dan dirinya dari dosa
9. ‘Athifah : عَاطِفَة : Perasaan; rasa kasih saying
10. ‘Aqila : عَاقِلَة : Yang berakal; pandai
11. ‘Akifah : عَاكِفَة : Yang menetap; beri’tikaf
12. ‘Alimah : عَالِمَة : Pandai; berilmu
13. ‘Amirah : عَامِرَة : Penghuni; lembah; yang dipenuhi oleh keimanan dan pekerti yang mulia
14. ‘Ahidah : عَاهِدَة : Yang menjaga janji atau urusan
15. ‘Ablah : عَبْلَة : Wanita yang sempuran fisiknya
16. ‘Adzbah : عَذْبَة : Sedab; baik; enak; lezat
17. ‘Adzra` : عَذْرَاء : Perawan; julukan bagi Maryam
18. ‘Azbah : عَذْبَة : Yang manis dan nikmat
18. ‘Azzah : عَزَّة : Anak kijang/rusa
19. ‘Azizah : عَزِيْزَة : mulia; terhormat; kuat
20. ‘Azmah : عَزْمَة : Kekuatan; keinginan
21. ‘Asjad : عَسْجَد : Emas; mutiara
22. ‘Asla` : عَسْلاَء : campuran dengan madu
23. ‘Asyirah : عَشِيْرَة : Kabilah
24. ‘Ashma` : عَصْمَاء : Yang terlindungi; yang terpelihara
25. ‘Athfah : عَطْفَة : Yang penuh welas dan kasih sayang
26. ‘Afifah : عَفِيْفَة : Yang mensucikan diri; yang baik
27. ‘Afra` : عَفْرَاء : Jenis kijang/rusa yang amat putih
28. ‘Aliyyah : عَلِيَّة : Tinggi
29. ‘Alya` : عَلْيَاء : Tempat yang tinggi; puncak gunung; langit; kemuliaan
30. ‘Anbarah : عَنْبَرَة : Minyak wangi;za’faran
31. ‘Awathif : عَوَاطِف : Jamak dari kata ‘Athifah ; yang penyayang; baik akhlaqnya
32. ‘Itrah : عِتْرَة : Kerabat dekat
33. ‘Ithaf : عِطَاف : Pedang; pakaian
34. ‘Iffat : عِفَّت : Yang suci, menjaga diri
35. ‘Inayah : عِنَايَة : Perhatian; pertolongan; tuntunan
36. ‘Urubah : عُرُوْبَة : Yang cantik dan berhijab; Yang tertawa
37. ‘Ulayya : عُلَيَّا : Diminutif dari kata ‘Alya` ; Puncak; langit; kemuliaan

ALGHAIN (الغين)

1. Ghadah : غادة : Wanita yang lembut
2. Ghaziyah : غَازِيَة : Yang mampu menaklukkan hati karena kecantikannya
3. Ghaliyah : غَالِيَة : Mahal harganya; campuran minyak wangi
4. Ghazalah : غَزَّالَة : Saat matahari terbit; kijang; pertama dari sesuatu
5. Ghaniyyah : غَنِيَّة : Yang memiliki harta berlimpah
6. Ghaitsanah : غَيْثَانَة : Awan yang menurunkan hujan
7. Ghaina` : غَيْنَاء : Pohon yang dahan-dahannya rimbun
8. Ghaida` : غَيْدَاء : Wanita yang anggun dan lembut
9. Ghurrah : غُرَّة : Awal munculnya bulan sabit; pemuka kaum; wajah
10. Ghulwa` : غُلْوَاء : Yang berlebihan; kematangan masa muda

AL-FÂ` (الفاء)

1. Fa`izah : فَائِزَة : Yang beruntung; yang menang
2. Fa`iqah : فَائِقَة : Yang paling menonjol kecantikannya dan kebaikannya
3. Fatihah : فَاتِحَة : Permulaan sesuatu; surat fatihah
4. Fakhirah : فَاخِرَة : Yang bagus sekali
5. Fadiyah : فَادِيَة : Yang mengorbankan diri untuk orang lain dan menyelematkannya
6. Fari’ah : فَارِعَة : Yang panjang dan tinggi
7. Fadhilah : فَاضِلَة : Yang utama; yang menonjol
20. Falihah : فَالِحَة : Yang sukses meraih apa yang diinginkan
21. Fathiyyah : فَتْحِيَّة : Dari kata Fath ; pangkal kebaikan, kemenangan dan keberuntungan
22. Fatiyyah : فَتِيَّة : Yang muda dan penuh vitalitas
23. Fakhiriyyah : فَخْرِيَّة : Yang bersifat kebanggaan
24. Farhah : فَرْحَة : Kesenangan; kegemberiaan
25. Faridah : فَرِيْدَة : Mutiara yang berharga; yang tiada saingannya; sendirian
26. Farizah : فَرِيْزَة : Yang sudah diundi dan diseleksi
27. Fashihah : فَصِيْحَة : Fasih; lancar dan baik bicaranya
28. Fathinah : فَطِيْنَة : Cerdas
29. Fakihah : فَكِيْهَة : Yang baik jiwanya
30. Fahimah : فَهِيْمَة : Yang banyak paham
31. Fauziyyah : فَوْزِيَّة : Yang bersifat keberuntungan
32. Faiha` : فَيْحَاء : Rumah yang luas; julukan bagi kota Damaskus, Bashrah dan Tripoli, Libanon; kuah yang ada rempah-rempahnya
33. Fairuz : فَيْرُوْز : Batu permata yang berwarna biru agak kehijau-hijauan
34. Fidhdhah : فِضَّة : Perak
35. Fikriyyah : فِكْرِيَّة : Yang bersifat pemikiran

AL-QÂF (القاف)

1. Qabilah : قَابِلَة : Dukun beranak
2. Qanitah : قَانِتَة : Wanita yang berdiri lama saat shalat dan berdoa
3. Qani’ah : قَانِعَة : Yang merasa puas; sederhana
4. Qarirah : قَرِيْرَة : Wanita yang lapang hatinya
5. Qathifah : قَطِيْفَة : Nama tumbuhan; Pakain yang dilemparkan seseorang ke arah dirinya sendiri
6. Qamariyyah : قَمَرِيَّة : Jenis burung dara yang berkicau
7. Qismiyyah : قِسْمِيَّة : Wajah yang cantik penampilannya
8. Qiladah :قِلاَدَة : Kalung
9. Qudsiyyah : قُدْسِيَّة : Kesucian dan keberkahan
10. Qudwah : قُدْوَة : Panutan; suriteladan

AL-KÂF (الكاف)

1. Katibah : كَاتِبَة : Sekretaris
2. Katimah : كَاتِمَة : Yang menyembunyikan rahasia, pemegang amanah di dalam beramal
3. Kadziyah : كَاذِيَة : Nama jenis bunga yang harum baunya.
4. Kasibah : كَاسِبَة : Yang beruntung.
5. Kazhimah : كَاظِمَة : Dapat menahan diri dari amarah
6. Kafiah : كَافِيَة : Yang mencukupkan sehingga tidak perlu yang lain
5. Kamilah : كَامِلَة : Yang sempurna; yang komplit
6. Kahilah : كَحْلاَء : Wanita yang bercelak
7. Karimah : كَرِيْمَة : Yang mulia;anak; saudara perempun
8. Kawakib : كَوَاكِب : Bintang-gemintang
9. Kayyisah : كَيِّسَة : Wanita yang berakal jernih dan cerdik
10. Kinanah : كِنَانَة : Penjagaan; perlindungan
AL-LÂM (اللام)


1. Labibah : لَبِيْبَة : Wanita yang cerdas; pandai
2. Lahzhah : لَحْظَة : Sekilas pandang
3. Lathifah : لَطِيْفَة : Wanita yang lembut; baik
4. Lamya` : لَمْيَاء : Yang keabu-abuan; agak kurus (sedikit daging)
5. Lahfah : لَهْفَة : Kerinduan
6. Lawahizh : لَوَاحِظ : Mata yang awas
7. Laila : لَيْلَى : Malam yang gelap
8. Lu`lu`ah : لُؤْلُؤَة : Mutiara
9. Lubabah : لُبَابَة : Inti sesuatu; pilihan; nama istri Abbas bin Abdul-Muthalib.
10. Lubanah : لُبَانَة : Hajat kebutuhan
11. Lubna : لُبْنَى : Sejenis pohon yang mempunyai air seperti madu dan terkadang dijadikan sebagai wewangian dengan membakarnya; madu
12. Luwazah : لُوَزَة : Pohon yang berbuah dan amat masyhur; buah badam


AL-MÎM (الميم)

1. Ma`munah : مَأْمُوْنَة : Yang dapat dipercayai
2. Matsilah : مَاثِلَة : Yang menyerupai; tampil
2. Majidah : مَاجِدَة : Yang mulia; yang agung; yang baik budinya
3. Mariyah : مَارِيَة : Wanita yang wajahnya berseri-seri; nama salah seorang istri nabi saw berasal dari Mesir Mariyah al-Qibthiyyah
4. Mazinah : مَازِنَة : Yang bercahaya wajahnya
5. Maziyah : مَازِيَة : Awan yang membawa air hujan berseri-seri
7. Mahirah : مَاهِرَة : Pandai
8. Mabrukah : مَبْرُوْكَة : Yang pendapat barakah
9. Mahabbah : مَحَبَّة : Kecintaan; kasih saying yang tulus
10. Mahasin : مَحَاسِن : Keindahan
11. Mahbubah : مَحْبُوْبَة : Yang dicintai; yang disayang; terkasih
12. Mahrusah :مَحْرُوْسَة : Yang terlindungi; yang terpelihara; julukan bagi kota Cairo, ibukota Mesir
13. Mahfuzhoh : مَحْفُوْظَة : Sesuatu yang dihafal/dijaga dengan penuh perhatian
14. Madihah : مَدِيْحَة : Yang terpuji; Yang banyak memuji
15. Marjanah : مَرْجَانَة : Satu biji mutiara
16. Marjuwwah : مَرْجُوَّة : Orang yang diharapkan
17. Marzaqah : مَرْزُوْقَة : Yang memperoleh rizki yang banyak
18. Marwah : مَرْوَة : tumbuhan medis dan beraroma; nama bukit di Mekkah (Yaitu tempat sa’i)
19. Maryam : مَرْيَم : Nama ibu Isa as
20. Mazaya : مَزَايَا : Kelebihan; keunggulan
21. Masarrah : مَسَرَّة : Kegembiraan
22. Musrurah : مَسْرُوْرَة : Yang bergembira
23. Mas`udah : مَسْعُوْدَة : Yang berbahagia
24. Masya`il : مَشَاعِل : Sesuatu yang dinyalakan untuk penerangan;obor
25. Masykurah : مَشْكُوْرَة : Yang diterima kasihi
26. Masyhurah : مَشْهُوْرَة : Terkenal; termasyhur
27. Mashunah : مَصُوْنَة : Yang terjaga
28. Ma’azzah : مَعَزَّة : Tempat yang dimuliakan
29. Ma’zuzah : مَعْزُوْزَة : Yang memiliki kedudukan di kalangan kaumnya
30. Ma’unah : مَعُوْنَة : Yang tidak kikir untuk membantu kaumnya
31. Mafakhir : مَفَاخِر : Sesuatu yang dibangga-banggakan
32. Maqbulah : مَقْبُوْلَة : Yang diterima
33. Maqshudah : مَقْصُوْدَة : Yang dituju
34. Makkiyyah : مَكِّيَّة : Dinisbahkan kepada kota Mekkah
35. Malihah : مَلِيْحَة : Cantik; indah penampilannya
36. Mamduhah : مَمْدُوْحَة : Yang dipuji
37. Manal : مَنَال : Anugerah dan nikmat Allah
38. Manahil : مَنَاهِل : Sumber ilmu dan akhlaq
39. Mantsurah : مَنْثُوْرَة : Ucapan yang baik
40. Mansyudah : مَنْشُوْدَة : Yang dituntut untuk memenuhi kepentingan manusia; yang diidam-idamkan
41. Manshurah : مَنْصُوْرَة : Yang ditolong
42. Mani`ah : مَنِيْعَة : Kuat perkasa
43. Mawaddah : مَوَدَّة : Kasih saying; kecintaan
44. Mauhibah : مَوْهِبَة : Anugrah; hadiah; pemberian
45. Mahdiyyah : مَهْدِيَّة : Yang mendapat hidayah Allah
46. Mahibah : مَهِيْبَة : Yang disegani; penuh wibawa
47. Mayyasah : مَيَّاسَة : Bintang yang berkilau
48. Mayyadah : مَيَّادَة : Yang bergoyang-goyang
49. Maitsa` : مَيْثَاء : Pepasir yang ringan dan tanah datar yang baik
50. Maysurah : مَيْسُوْرَة : Yang dimudahkan
51. Maimunah : مَيْمُوْنَة : Yang diberi kebaikan; yang diberi taufik
52. Maila : مَيْلاَء : Pohon yang banyak cabangnya; yang condong
53. Miskah : مِسْكَة : Kasturi
54. Misykah : مِشْكَاة : Lentera
55. Mibarrah : مِبَرَّة : Makanan untuk bepergian yang ringan
56. Mu’minah : مُؤْمِنَة : Wanita yang beriman
57. Mu’nisah : مُؤْنِسَة : Wanita yang menghibur
58. Mubinah : مُبِيْنَة : Yang menjelaskan apa yang diinginkannya
59. Mujahidah : مُجَاهِدَة : Yang berjihad
60. Muhsinah : مُحْسِنَة : Yang berbuat baik
61. Mukhlishoh : مُخْلِصَة : Yang ikhlas
62. Mudrikah : مُدْرِكَة : Yang memiliki pemahaman yang baik
63. Muradah : مُرَادَة : Yang dicintai
64. Murtaja : مُرْتَجَى : Tempat menumpukan cita-cita
65. Muznah : مُزْنَة : Awan yang membawa air
66. Musta’inah : مُسْتَعِيْنَة : Yang minta pertolongan Allah
67. Muslimah : مُسْلِمَة : Wanita muslimah
68. Musyirah : مُشِيْرَة : Yang memberikan masukan
69. Mudhi`ah : مُضِيْئَة : Bercahaya; wajah yang berseri-seri
70. Muthi`ah : مُطِيْعَة : Taat; lembut; mudah
71. Mu`adzah : مُعَاذَة : Yang terpelihara; yang terlindungi
72. Mu’inah : مُعِيْنَة : Yang membantu hajat orang
73. Mufidah : مُفِيْدَة : Yang berguna bagi orang lain
74. Multazimah : مُلْتَزِمَة : Yang komitmen
75. Mumtazah : مُمْتَازَة : Yang unggul dan memiliki kelebihan; istimewa
76. Muna : مُنَى : Harapan; cita-cita
77. Munibah : مُنِيْبَة : Yang kembali kepada Tuhannya
78. Munirah : مُنِيْرَة : Bercahaya; terang
79. Munifah : مُنِيْفَة : Tinggi; serasi
80. Muhjah : مُهْجَة : Darah jantung dan roh
81. Muwaffaqah : مُوَفَّقَة : Yang mendapatkan ilham; mendapat petunjuk/taufiq

AN-NÛN (النون)


1. Na`ilah : نَائِلَة : Yang mendapatkan nugerah apa yang diinginkan –insya Allah-
2. Na`ibah : نَائِبَة : Yang mewakili
4. Natsirah : نَاثِرَة : Yang pandai merangkai prosa
5. Najilah : نَاجِلَة : Yang memiliki keturunan yang terhormat
6. Najihah : نَاجِحَة : Yang sukses
7. Najiyah : نَاجِيَة : Selamat
8. Nadiyah : نَادِيَة : Yang memanggil
9. Nasyidah : نَاشِدَة : Yang mencita-citakan kesempurnaan dan dapat meraih cita-cita
10. Nashi’ah : نَاصِعَة : Yang polos, suci dan terang
11. Nasihah : نَاصِحَة : Wanita penasihat
12. Nazhimah : نَاظِمَة : Ahli membuat syair; kumpulan mutiara
13. Na`imah : نَاعِمَة : Yang halus, lembut
14. Nafi`ah : نَافِعَة : Yang memberi manfaat kepada orang lain
15. Namiah : نَامِيَة : Yang sempurna tubuh, akal dan akhlaqnya
16. Nahidhah : نَاهِضَة : Yang bangkit dengan tekad bulat
17. Nahilah : نَاهِلَة : Yang menyumbangkan ilmu dan adab
18. Nabilah : نَبِيْلَة : Mulia; terhormat; pandai
19. Nabihah : نَبِيْهَة : Yang cerdas dan unggul
20. Najdah : نَجْدَة : Cepat menolong
21. Najla` : نَجْلاَء : Yang memiliki mata yang hitam, indah dan lebar
22. Najmah : نَجْمَة : Bintang; kata-kata
23. Najwa : نَجْوَى : Pembicaraan antara dua orang; bisikan
24. Najibah : نَجِيْبَة : Yang cerdas, berakal lagi cerdik
25. Nakhwah : نَخْوَة : Harga diri; maruwah
26. Nadidah : نَدِيْدَة : Yang semisal, sepadan; yang sama
27. Narjis : نَرْجِس : Tumbuhan yang enak aromanya
28. Nazihah : نَزِيْهَة : Yang jauh dari hal-hal yang buruk
29. Nasibah : نَسِيْبَة : Yang nasabnya terhormat
30. Nasywah : نَشْوَة : Kebahagiaan dan kegembiraan
31. Nasyithah : نَشِيْطَة : Yang gesit dan enerjik
32. Nasyamah : نَشَامَة : Yang kuat, suci dan punya kepribadian kokoh
33. Nadhirah : نَضِرَة : Yang penuh vitalitas dan menawan
34. Nazhirah : نَظِيْرَة : Yang setara, sepadan; menjadi pusat perhatian
35. Na’amah : نَعَامَة : Nama burung yang terkenal
36. Nafhah : نَفْحَة : Aroma yang melegakan hati
37. Nafisah : نَفِيْسَة : Yang amat berharga; berkedudukan tinggi
38. Naqiyyah : نَقِيَّة : Yang bersih
39. Nawal : نَوَال : Bagian; pemberian
40. Nawwarah : نَوَّارَة : Yang amat bercahaya
41. Nibras : نِبْرَاس : Lentera yang bercahaya
42. Nirdin : نِرْدِيْن : Tumbuhan yang enak aromanya
43. Nisrin : نِسْرِيْن : Bunga ros putih semerbak dan amat menyengat
44. Nismah : نِسْمَة : Angin semilir
45. Ni’mah : نِعْمَة : Nikmat; karunia
46. Nuzhah : نُزْهَة : Rileks; tamasya
47. Nuwairah : نُوَيْرَة : Api kecil yang bercahaya dan membakar
48. Nufah (Nova) : نُوْفَة : Yang sempurna tinggi dan kecantikannya
49. Nuha : نُهَى : Akal

AL-HÂ` (الهاء)

1. Hasyimah : هَاشِمَة : Yang pintar membuat susu
2. Hasyimiyyah : هَاشِمِيَّة : Dinisbahkan kepada Bani Hasyim
3. Hajar : هَاجَر : Waktu tengah hari tepat saat udara panas
4. Halah : هَالَة : Lingkaran cahaya
5. Hazar : هَزَار : sejenis burung yang merdu suaranya
6. Hallabah : هَلاَّبَة : Angin dingin disertai hujan
7. Halilah : هَلِيْلَة : Tanah yang terkena hujan
8. Hamsa` : هَمْسَاء : Yang membisikkan
9. Hamsah : هَمْسَة : Bisikan
9. Hana` : هَنَاء : Kegembiraan; kebahagiaan
10. Hanadi : هَنَادِي : Dinisbahkan kepada India
11. Haniyyah : هَنِيَّة : Yang senang dan gembira
12. Hawadah : هَوَادَة : Kelembutan, ketenangan
13. Haya : هَيَا : Yang bagus gerakan dan penampilannya
14. Hayaf : هَيَاف : Yang sangat haus
15. Haibah : هَيْبَة : Kewibawaan
16. Haifa` : هَيْفَاء : Yang ramping pinggangnya
17. Hibah : هِبَة : Pemberian; anugerah
18. Hidayah : هِدَايَة : Hadiyah; petunjuk
19. Hilalah : هِلاَلَة : Bulan penuh
20. Himmah : هِمَة : Kemauan
21. Hindun : هِنْد : Nama isteri Abu Sufyan; segerombolan onta
22. Hila : هِيْلاَ : Pasir
23. Hubairah : هُبَيْرَة : Binatang buas sejenis anjing hutan
24. Huda : هُدَى : Pentunjuk; menunjukkan dengan kelembutan
25. Huwaidah : هُوَيْدَة : Yang menyatukan dan tidak mencerai-beraikan dengan cara lembut


AL-WÂW (الواو)

1. Wa`ilah : وَائِلَة : Yang kembali kepada Allah
2. Watsiqah : وَاثِقَة : Yang memiliki kepercayaan pada dirinya sendiri
3. Wajidah : وَاجِدَة : Yang merasa cukup dengan dirinya dan tidak terlalu memerlukan bantuan orang
4. Wahah : وَاحَة : Tanah subur terletak di gerun pasir
5. Wadi’ah : وَادِعَة : Yang tenang dan mantap
6. Warifah : وَارِفَة : Yang panjang
7. Washilah : وَاصِلَة : Yang menyambut hubungan dengan sanak kerabatnya
8. Wadlihah : وَاضِحَة : Yang jelas; yang istiqamah
9. Wa’izhah : وَاعِظَة : Wanita yang memberikan wejangan, nasehat
10. Wafirah : وَافِرَة : Yang sempurna, banyak baiknya dan merata manfa’atnya
11. Wajnah : وَجْنَة : Yang diatas kedua pipi
12. Wajizah : وَجِيْزَة : Yang bicaranya ringkas
13. Wajihah : وَجِيْهَة : Yang memiliki urusan dan kehormatan
14. Wahidah : وَحِيْدَة : Yang satu-satunya; sendirian
15. Wada’ : وَدَاع : Ketenangan; perpisahan
16. Wardah : وَرْدَة : Bunga ros
17. Wazirah : وَزِيْرَة : Menteri wanita
18. Wasma` : وَسْمَاء : Bekas keindahan dan kecantikan
19. Wasithah : وَسِيْطَة : Wanita Perantara; Yang menjadi pemutus perkara/wasit
20. Wasimah : وَسِيْمَة : Wajah yang cantik
21. Washifah : وَصِيْفَة : Pendamping ratu; dayang
22. Wadli`ah : وَضِيْئَة : Yang cantik sekali
23. Wathfa` : وَطْفَاء : Yang bulu alisnya lebat
24. Wafa` : وَفَاء : Ketulusan; Kesetiaan
25. Wafidah : وَفِيْدَة : Yang datang
26. Wafiqah : وَفِيْقَة : Yang mendapatkan taufiq
27. Wafiyyah : وَفِيَّة : Yang setia
28. Wala` : وَلاَء : Loyalitas
29. Walladah : وَلاَّدَة : Yang banyak anak
30. Waliyyah : وَلِيَّة : Wali (wanita); penanggung jawab (wn)
31. Widad : وِدَاد : Yang mencintai orang-orang di sekitarnya
32. Wisyah : وِشَاح : Sulaman dari mutiara
33. Wifaq : وِفَاق : Yang sesuai dengan dikehendaki
34. Wihad : وِهَاد : Dataran rendah

AL-YÂ` (الياء)

1. Yasminah :يَاسَمِيْنَة : Bunga yasmin
2. Yafi`ah : يَافِعَة : Yang menginjak baligh
3. Yaqutah : يَاقُوْتَة : Salah satu jenis batu mulia; yaqut
4. Yani’ah : يَانِعَة : Buah sudah boleh dipetik
5. Yasra` : يَسْرَاء : Wanita kidal
6. Yaqzhanah : يَقْظَانَة : Yang tanggap/sigap; jaga
7. Yamamah : يَمَامَة : Sejenis burung dara
7. Yamaniyyah : يَمَانِيَّة : Yang bersifat keberkahan
8. Yusra : يُسْرَى : Yang paling mudah
5. Yusriyyah :يُسْرِيَّة : Yang bersifat mudah
6. Yumna : يُمْنَى : Tangan kanan

Senin, 14 Februari 2011

ANTARA YA DAN TIDAK? PERINGATAN MAULID NABI MUHAMMAD SAW

Dalam artibahasa, Maulid Nabi Muhammad SAW kadang-kadang Maulid Nabi atau Maulud saja (bahasa Arab: مولد، مولد النبي‎, mawlidun-nabī), adalah peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW, yang di Indonesia perayaannya jatuh pada setiap tanggal 12 Rabiul Awal dalam penanggalan Hijriyah. Kata maulid atau milad dalam bahasa Arab berarti hari lahir. Perayaan Maulid Nabi merupakan tradisi yang berkembang di masyarakat Islam jauh setelah Nabi Muhammad wafat. Secara subtansi, peringatan ini adalah ekspresi kegembiraan dan penghormatan kepada Nabi Muhammad.

Dari sejarahnya, perayaan Maulid Nabi diperkirakan pertama kali diperkenalkan oleh Abu Said al-Qakburi, seorang gubernur Irbil, di Irak pada masa pemerintahan Sultan Salahuddin Al-Ayyubi (1138-1193). Adapula yang berpendapat bahwa idenya justru berasal dari Sultan Salahuddin sendiri. Tujuannya adalah untuk membangkitkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW, serta meningkatkan semangat juang kaum muslimin saat itu, yang sedang terlibat dalam Perang Salib melawan pasukan Kristen Eropa dalam upaya memperebutkan kota Yerusalem dan sekitarnya.

Sebagian masyarakat muslim Sunni dan Syiah di dunia merayakan Maulid Nabi. Muslim Sunni merayakannya pada tanggal 12 Rabiul Awal sedangkan muslim Syiah merayakannya pada tanggal 17 Rabiul Awal, yang juga bertepatan dengan ulang tahun Imam Syiah yang keenam, yaitu Imam Ja'far ash-Shadiq.

Maulid dirayakan pada banyak negara dengan penduduk mayoritas Muslim di dunia, serta di negara-negara lain di mana masyarakat Muslim banyak membentuk komunitas, contohnya antara lain di India, Britania, dan Kanada, Arab Saudi adalah satu-satunya negara dengan penduduk mayoritas Muslim yang tidak menjadikan Maulid sebagai hari libur resmi. Partisipasi dalam ritual perayaan hari besar Islam ini umumnya dipandang sebagai ekspresi dari rasa keimanan dan kebangkitan keberagamaan bagi para penganutnya.

Masyarakat muslim di Indonesia umumnya menyambut Maulid Nabi dengan mengadakan perayaan-perayaan keagamaan seperti pembacaan shalawat nabi, pembacaan syair Barzanji dan pengajian. Menurut penanggalan Jawa bulan Rabiul Awal disebut bulan Mulud, dan acara Muludan juga dirayakan dengan perayaan dan permainan gamelan Sekaten, hal itu terjadi di kota Jogya.

Akan tetapi ada perpedaan paham dalam memahai dari beberapa kaum ulama yang berpaham Salafi dan Wahhabi yang tidak merayakannya karena menganggap perayaan Maulid Nabi merupakan sebuah bid'ah, yaitu kegiatan yang bukan merupakan ajaran Nabi Muhammad SAW. Mereka berpendapat bahwa kaum muslim yang merayakannya keliru dalam menafsirkannya sehingga keluar dari esensi kegiatannya. Namun demikian, terdapat pula ulama yang berpendapat bahwa peringatan Maulid Nabi bukanlah hal bid'ah, karena merupakan pengungkapan rasa cinta kepada Nabi Muhammad SAW.
Dibawah ini terdapat paham yaitu Syaikh Muhammad bin Shaleh Al 'Utsaimin rahimahullah –semoga Allah membalas jerih payahnya terhadap Islam dan kaum muslimin dengan sebaik-baik balasan- , beliau pernah ditanya tentang hukumnya memperingati maulid Nabi r ?

Maka Syaikh Muhammad bin Shaleh Al 'Utsaimin rahimahullah menjawab:
1. Malam kelahiran Rasulullah r tidak diketahui secara qath'i (pasti), bahkan sebagian ulama kontemporer menguatkan pendapat yang mengatakan bahwasannya ia terjadi pada malam ke 9 (sembilan) Rabi'ul Awwal dan bukan malam ke 12 (dua belas). Jika demikian maka peringatan maulid Nabi Muhammad r yang biasa diperingati pada malam ke 12 (dua belas) Rabi'ul Awwal tidak ada dasarnya, bila dilihat dari sisi sejarahnya.

2. Di lihat dari sisi syar'i, maka peringatan maulid Nabi r juga tidak ada dasarnya. Jika sekiranya acara peringatan maulid Nabi r disyari'atkan dalam agama kita, maka pastilah acara maulid ini telah di adakan oleh Nabi r atau sudah barang tentu telah beliau anjurkan kepada ummatnya. Dan jika sekiranya telah beliau laksanakan atau telah beliau anjurkan kepada ummatnya, niscaya ajarannya tetap terpelihara hingga hari ini, karena Allah ta'ala berfirman :

“Sesungguhnya Kami-lah yang telah menurunkan Al Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. Q.S; Al Hijr : 9 .

Dikarenakan acara peringatan maulid Nabi r tidak terbukti ajarannya hingga sekarang ini, maka jelaslah bahwa ia bukan termasuk dari ajaran agama. Dan jika ia bukan termasuk dari ajaran agama, berarti kita tidak diperbolehkan untuk beribadah kepada Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan acara peringatan maulid Nabi r tersebut.

Allah telah menentukan jalan yang harus ditempuh agar dapat sampai kepada-Nya, yaitu jalan yang telah dilalui oleh Rasulullah r, maka bagaimana mungkin kita sebagai seorang hamba menempuh jalan lain dari jalan Allah, agar kita bisa sampai kepada Allah?. Hal ini jelas merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak Allah, karena kita telah membuat syari'at baru pada agama-Nya yang tidak ada perintah dari-Nya. Dan ini pun termasuk bentuk pendustaan terhadap firman Allah ta'ala :

"Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku-ridha'i islam itu jadi agama bagimu". Q.S; Al-Maidah : 3.

Maka kita perjelas lagi, jika sekiranya acara peringatan maulid Nabi r termasuk bagian dari kesempurnaan dien (agama), niscaya ia telah dirayakan sebelum Rasulullah r meninggal dunia. Dan jika ia bukan bagian dari kesempurnaan dien (agama), maka berarti ia bukan dari ajaran agama, karena Allah ta'ala berfirman: "Pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu".

Maka barang siapa yang menganggap bahwa ia termasuk bagian dari kesempurnaan dien (agama), berarti ia telah membuat perkara baru dalam agama (bid'ah) sesudah wafatnya Rasulullah r, dan pada perkataannya terkandung pendustaan terhadap ayat Allah yang mulia ini (Q.S; Al-Maidah : 3) .

Maka tidak diragukan lagi, bahwa orang-orang yang mengadakan acara peringatan maulid Nabi r, pada hakekatnya bertujuan untuk memuliakan (mengagungkan) dan mengungkapkan kecintaan terhadap Rasulullah SAW, serta menumbuhkan ghirah (semangat) dalam beribadah yang di peroleh dari acara peringatan maulid Nabi tersebut. Dan ini semua termasuk dari ibadah. Cinta kepada Rasulullah r termasuk ibadah, dimana keimanan seseorang tidaklah sempurna hingga ia mencintai Nabi r melebihi kecintaannya terhadap dirinya sendiri, anak-anaknya, orang tuanya dan seluruh manusia. Demikian pula bahwa memuliakan (mengagungkan) Rasulullah r termasuk dari ibadah. Dan juga yang termasuk kedalam kategori ibadah adalah menumbuhkan ghirah (semangat) dalam mengamalkan syari'at Nabinya r.

Kesimpulannya adalah bahwa mengadakan peringatan maulid Nabi r dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah ta'ala, dan pengagungan terhadap Rasulullah r termasuk dari ibadah. Jika ia termasuk ibadah maka kita tidak diperbolehkan untuk mengadakan perkara baru pada agama Allah (bid'ah) yang bukan syari'at-Nya. Oleh karena itu peringatan maulid Nabi r termasuk bid'ah dalam agama dan termasuk yang diharamkan.

Kemudian kita mendengar informasi bahwasannya pada acara peringatan maulid Nabi r terdapat kemunkaran-kemunkaran yang besar, yang tidak dibenarkan syar'i, indera maupun akal. Dimana mereka mensenandungkan qashidah yang didalamnya mengandung pengkultusan terhadap Nabi r, hingga terjadi pengagungan yang melebihi pengagungannya kepada Allah ta'ala –kita berlindung kepada Allah dari hal ini-.

Dan juga kita mendengar informasi tentang kebodohan sebagian orang yang mengikuti acara peringatan maulid Nabi tersebut , dimana ketika dibacakan kisah maulid (kelahiran) beliau, lalu ketika sampai pada perkataan (dan lahirlah Musthafa r), maka mereka semua serentak berdiri. Mereka mengatakan bahwa ruh Rasulullah r telah datang, maka kami berdiri sebagai penghormatan terhadap kedatangan ruhnya. Dan ini jelas suatu kebodohan.

Dan bukan merupakan adab bila mereka berdiri untuk menghormati kedatangan ruh Nabi r, karena Rasulullah r merasa enggan (tidak senang) apabila ada sahabat yang berdiri untuk menghormatinya. Padahal kecintaan dan pengagungan para sahabat terhadap Rasulullah r melebihi yang lainnya, akan tetapi mereka tidak berdiri untuk memuliakan dan mengagungkannya, ketika mereka melihat keengganan Rasulullah r dengan perbuatan tersebut. Jika hal ini tidak mereka lakukan pada saat Rasulullah r masih hidup, lalu bagaimana hal tersebut bisa dilakukan oleh manusia setelah beliau meninggal dunia?.

Bid'ah ini, maksudnya adalah bid'ah maulid, terjadi setelah berlalunya 3 (tiga) kurun waktu yang terbaik (masa sahabat, tabi'in dan tabi'ut tabi'in). sesungguhnya Peringatan maulid Nabi r telah menodai kesucian aqidah dan juga mengundang terjadinya ikhtilath (bercampur-baurnya antara laki-laki dan wanita) serta menimbulkan perkara-perkara munkar yang lainnya. (Rujukan: Majmu' Fatawa dan Rasail Syaikh Muhammad bin Shaleh Al 'Utsaimin rahimahullah jilid 2 hal 298-300. http://www.islamhouse.com/p/72553 )

Pendapat lain, Khalid bin Su'ud al-Bulaihid Ada kelompok dari kaum muslimin yang melakukan perayaan maulid Nabi  pada hari kedua belas, bulan Rabiulawal, setiap tahun hijriah. Diselenggarakan dengan berbagai macam upacara dan ritual. Tujuan dari semua itu adalah mempertunjukkan kegembiraan, kebahagiaan, rasa syukur dan rasa cinta kepada Rasulullah  dengan memperingati hari kelahirannya. Apakah perbuatan ini benar, berkesesuaian dengan syariat dan pelakunya mendapat pahala?!
Kepada pembela dan pendukung perayaan maulid saya tujukan risalah ini, dari hati yang penuh kasih dan nasihat untuk mengantarkan kebenaran, membela sunah Nabi  dan mengamalkan sabdanya,
الدِّينُ النَّصِيحَةُ
"Agama adalah nasihat."
Kami (para sahabat) bertanya, "Untuk siapa wahai Rasulullah?"
لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ
"Untuk Allah, kitab-Nya, rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin dan seluruh ummatnya." [Hadits Mutafak alaih]
Saya ringkas dialog saya ini dalam poin-poin berikut:
Pertama: awal kali saya katakan kepada mereka bahwa seluruh kaum muslimin mencintai Nabi , tidak ada seorangpun yang menyelisihi hal ini. Mencintai Nabi adalah fardu (wajib) bagi kaum muslimin, bahkan ia merupakan pokok dari pokok keimanan. Tidak sah iman seorang hamba kecuali dengannya.
Rasulullah  bersabda,
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
"Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga aku lebih dicintainya dari pada anaknya, orang tuanya dan semua orang." [Mutafak Alaih]
Akan tetapi kaum muslimin berbeda dalam mengekspresikan dan menampakkan kecintaan ini dalam pengejawantahannya.
Dengan demikian kita sepakat atas wajibnya mencintai Nabi .

Kedua: saya tanyakan kepada mereka: apa pengertian cinta kepada Nabi ? Apakah kecintaan itu hanya semata perasaan, hubungan hati dan emosional atau amalan hati yang disertai praktek amal?!
Tidak diragukan jika asal kecintaan ada di dalam hati, akan tetapi kecintaan memiliki konsekuensi dan buah. Cinta sempurna dan lengkap ketika tergabung perasaan hati, pengucapan lisan dan realisasi anggota tubuh. Ia juga mengharuskan pembenaran apa yang dikabarkan, menjalankan perintah dan menjauhi larangannya.
Allah  berfirman,
     •      
"Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Q.S.Ali Imran:31)
Rasulullah  bersabda,
كُلُّ أُمَّتِى يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ ، إِلاَّ مَنْ أَبَى » . قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ يَأْبَى قَالَ « مَنْ أَطَاعَنِى دَخَلَ الْجَنَّةَ ، وَمَنْ عَصَانِى فَقَدْ أَبَى
"Setiap umatku masuk surga, kecuali yang enggan."
Ada yang bertanya:
"Siapa mereka yang enggan itu wahai Rasulullah?"
"Siapa yang menaatiku masuk surga dan siapa yang menyelisihiku maka sungguh dia telah enggan." [Hadits riwayat al-Bukhari]
Siapa yang mencintai hendaknya memperbanyak mengingat, menaati dan berusaha tidak menyelisihinya.
Bila demikian, kecintaan bukanlah sekadar klaim, simbolis, sorak-sorai, akan tetapi kehidupan, metode dan praktek nyata. Amat disayangkan, kebanyakan kaum muslimin membayangkan bahwa kecintaan kepada Nabi  hanya cukup dengan memuja dan memujinya. Oleh karenanya kita dapat melihat kehidupan mereka begitu jauh dari petunjuk, manhaj (metode beragama), ucapan dan perbuatan Nabi . Kebanyakan mereka menyelisihi Nabi  dalam kebanyakan sunahnya. Jika tiba momen keagamaan, mereka mengadakan perayaan untuk mempertontonkan kecintaan. Bersamaan dengan usainya perayaan itu, mereka kembali kepada kondisi mereka semula dari kesesatan. Tidak diragukan bahwa kecintaan hampa ini adalah kecintaan yang cacat dan bisa jadi batal.

Ketiga: jika kita tanya kepada mereka: apa hakikat perayaan maulid Nabi ?
Mereka akan menjawab: ini hanyalah murni tradisi seperti perayaan-perayaan duniawi yang lain, tidak ada hubungannya dengan agama dan hukum asalnya adalah boleh. Dibolehkan bagi setiap muslim melakukan perayaan kelahiran Nabi  sebagaimana perayaan duniawi lain ketika mendapat pekerjaan atau mendapat kenikmatan; seperti dianugerahi anak dan lain sebagainya.
Perkataan mereka ini sesungguhnya adalah salah besar, menipu diri sendiri, tidak filosofis dan tidak masuk akal.
Setiap orang, meskipun dia buta huruf, pertama kali akan memahami bahwa perayaan tersebut adalah perayaan agama. Siapapun yang merenungkan perayaan ini akan yakin bahwa ia dilaksanakan atas dasar kecintaan kepada Nabi , dengan tujuan terbesar mendekatkan diri kepada Allah dan menjadikannya sebagai wasilah untuk membersihkan diri dan memurnikannya. Di dalamnya terdapat zikir dan ritual doa.
Dengan demikian jelaslah bahwa perayaan maulid adalah ibadah dan bentuk taqarub (mendekatkan diri) yang dilakukan pelakunya untuk mendekatkan diri kepada Allah dan menjadikannya sebagai salah satu dari syiar agama. Karena itulah mereka konsisten melakukannya, menganjurkan yang lain untuk terlibat dan mengingkari siapa yang meninggalkannya dan menuduhnya dengan buruk perangai.
Jika ditetapkan sebagai ibadah, maka ibadah itu haruslah memenuhi sarat yang mengesahkannya, jika tidak, ibadah itu menjadi batil dan tidak ada dasarnya.
Keempat: jika kita tanya mereka: apakah ada dalil syariat yang menunjukkan pensyariatan dan pembolehan perayaan maulid nabi?! Tentu mereka akan mengatakan ada dan mereka akan menyebutkan sejumlah dalil. Akan tetapi jika kita kaji dalil-dalil yang mereka gunakan, maka dalil-dalil tersebut tidak lepas dari dua keadaan:
1. dalil khusus yang lemah lagi maudhu (palsu).
2. dalil umum yang sahih tetapi tidak menunjukkan apa yang didalili dari sisi manapun. Seperti pendalilan mereka dengan hadits yang diriwayatkan di dalam Sahih Muslim, bahwa ketika Nabi  ditanya mengenai puasa hari senin beliau  menjawab,
فِيْهِ وُلِدْتُ وِفِيْهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ
"Pada hari itulah aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku."
Demikian pula pendalilan mereka dengan keutamaan hari Jumat dan istihbab (disukainya) salawat kepada Nabi serta pendalilan dengan keutamaan Nabi . Dalil-dalil tersebut –segala puji bagi Allah- tidak sama sekali menunjukkan akan pensyariatan maulid Nabi, ia hanya menunjukkan atas dua hal:
1. hanya menunjukkan keutamaan hari-hari tersebut saja, tidak yang lainnya.
2. bentuk ibadah yang disyariatkan hanya yang disebutkan saja seperti puasa, zikir dan shalat. Perayaan maulid tidak terdapat di dalamnya.
Kita meminta mereka membuktikan (dengan dalil) dua perkara, dan mereka tidak akan dapat membuktikannya sampai hari kiamat:
1. pengkhususan perayaan hari kelahiran Nabi  saja dan tidak hari-hari yang lain.
2. pensyariatan melangsungkan perayaan maulid nabi dengan cara khusus yang mereka lakukan.
Ibadah tidak boleh dibangun di atas hukum Qias dan pandangan yang kosong dari dalil; seperti ucapan mereka bahwa perayaan ini masuk pada jenis menampakkan rasa syukur atau menampakkan kebahagiaan yang wajib. Atau dari jenis pengagungan kepada Rasulullah  yang disyariatkan.
Sehingga ia merupakan istihsan (anggapan baik) dan qiyas (penyerupaan kasus) yang menyelisihi dalil dan usul syariat. Karena ibadah adalah tauqifiah (baku), penetapan dan beribadah dengannya haruslah setelah adanya ketetapan dalil syariat khusus yang pasti.
Dengan demikian jelaslah bahwa pemimpin-pemimpin mereka mengabaikan akal dan pemahaman manusia, mengelabui mereka dengan nama cinta Nabi .

Kelima: jika kita tanya kepada mereka: adakah nabi  merayakan hari kelahirannya atau salah seorang dari khalifahnya (para pemimpin kaum muslimin setelah wafatnya Nabi) atau para sahabatnya, para tabiin dan tabiut tabiin atau imam mazhab yang empat atau salah seorang dari tiga generasi pertama? carilah jawabannya!!
Yang benar, yang tidak ada keraguan di dalamnya adalah bahwa perayaan maulid tidak dikenal di awal keislaman, tidak pula pada masa tiga generasi utama. Perayaan itu dimunculkan oleh sekte Fatimiyah Batiniyah yang Zindik (yang berkuasa) pada akhir kurun keempat di Mesir, kemudian diikuti oleh toriqoh-toriqoh sufi. Karenanya kita katakan kepada mereka:
1. apakah kalian merasa lebih mencintai Rasulullah  dibanding para sahabat nabi (di zamannya) atau kalian ragu akan kecintaan mereka.
2. apakah jalan dan amalan kalian lebih baik dari jalan dan amalan para sahabat Nabi. Jika itu luput dari manusia-manusia utama itu dan kalian yang menemukannya, tentu tidak ada kebaikan pada amalan yang luput dari mereka. Jika mereka mengetahuinya tetapi meninggalkannya, maka tidak ada kebaikan pada apa-apa yang ditinggalkan salafussoleh, karena mereka adalah umat yang terbaik, paling utama jalannya dan paling suci amalannya.
Dengan demikian jelaslah bahwa maulid nabi adalah amalan susupan yang tidak ada nasabnya dari Islam, bahkan ia menyerupai upacara umat agama yang menyelisihi Islam seperti Yahudi dan Nasrani terhadap pembesar-pembesar mereka. Sama sekali tidak terdapat di dalam syariat Islam. Pelaksanaan perayaan kelahiran seseorang atau kematiannya adalah istiadat yang menyusup, bukan dari kaum muslimin.
Keenam: jika kita tanya mereka tentang acara maulid nabi dan apa yang dilakukan ketika itu, mereka akan mengatakan hanya sekadar zikir, memuji nabi, membaca sirohnya (riwayat perjalanan hidupnya) dan amal-amal mustahabah (disukai) yang lain.
Tetapi pada prakteknya di setiap perayaan maulid nabi tidak luput dari penyimpangan, bid'ah dan praktek kesyirikan. Setiap perayaan perbedaannya hanya pada kadar penyimpangannya, sedikit atau lebih banyak.
Di antaranya:
1. zikir berjamaah (bersama) dengan hai'ah (gerakan) yang tidak disyariatkan.
2. berlebihan dalam memuji Nabi , padahal beliau telah melarang hal itu.
3. mengangkat Nabi melebihi kedudukannya dan menyifatinya dengan sifat ketuhanan, seperti pengetahuannya mengenai perkara gaib dan kesertaan dalam pengaturan alam.
4. melakukan ibadah dan wasilah-wasilah syirik seperti istighasah kepada Nabi dan para wali. Meminta kepada mereka dikabulkan hajat-hajatnya dan diberi kebaikan.
5. melakukan perbuatan sia-sia dan tarian.
6. mendengarkan ma'azif musiki (permainan musik) dan sibuk dengan permainan.
7. ikhtilat (campur baurnya lelaki dan perempuan) dan hadirnya remaja-remaja belia berparas menarik.
8. klaim dan prasangka hadirnya nabi  pada acara perayaan maulid.
9. hadirin di acara itu mengalami isyk (tergila-gila), suka cita, fana dan keadaan kesetanan lainnya.
Maksudnya adalah bahwa semua amalan yang dibangun di atas kebatilan adalah batil dan jalan menuju setan, menjauhkan dari Tuhan, ar-Rahman dan menyuburkan setiap bid'ah dan maksiat. -Allahu musta'an (Allah Maha penolong).

Ketujuh: kita tanya mereka: apakah makna bid'ah dan apa hakikat perbuatan bid'ah? Dan dapatkah menafsirkan sabda Nabi ,
وَمَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
"Siapa yang mengerjakan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka perbuatan itu tertolak." [Mutafak Alaih]
Mereka pastinya akan menjawab dengan jawaban yang mencampurkan antara kebenaran dengan kebatilan, menipu, menyimpangkan nas-nas dan merubah makna.
Mereka akan mengatakan bahwa bid'ah ada dua, bid'ah hasanah (bid'ah yang baik) dan bid'ah sayyiah (bid'ah yang buruk)...dan seterusnya.
Makna berbuat bid'ah adalah: mengadakan/menciptakan cara atau amal atau ibadah yang dijadikan wasilah mendekatkan diri kepada Allah dalam agama yang tidak memiliki asal dari syariat.
Setiap yang beribadah kepada Allah dengan amalan atau ibadah yang syariat tidak menunjukkannya, tidak bersandar kepada dalil atau ijma (konsensus) maka telah berbuat bid'ah dalam agama, pelakunya berdosa dan amalannya tertolak, tidak diterima sama sekali. Berarti telah menyakiti rasul dan mengikuti jalan selain orang beriman. Dalam agama tidak ada bid'ah hasanah.
Tidak diragukan lagi bahwa maulid Nabi  terlaku atasnya sifat bid'ah karena adanya dua illah (cacat):
1. dia adalah amalan agama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah.
2. tidak ada asalnya dari syariat.
Kita katakan kepada mereka bahwa dengan kalian menciptakan acara maulid nabi, secara tidak langsung menunjukkan perasaan kalian bahwa agama ini kurang, butuh dilengkapi dan disempurnakan. Padahal Allah  telah berfirman,
          
"Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu." (Q.S.al-Maidah:3)
Amalan tersebut juga membuka pintu kerusakan yang besar dimana semua momen yang dianggap baik dibuatkan perayaannya. Tentu ini mempermainkan agama Allah, sebagaimana yang telah dilakukan kaum syi'ah dan selain mereka.

Kedelapan: ketika kami tanyakan kepada kebanyakan orang-orang awam yang melaksanakan dan turut serta dalam perayaan maulid, apa yang menjadi sandaran kalian dalam melakukan perayaan ini, mereka menjawab: "Bagi kami mengikuti perbuatan syaikh/kiyai dan para wali. Kami meneladani mereka."
Kita katakan kepada mereka: perbuatan seseorang tidak bisa dijadikan hujjah (alasan), sekalipun mereka itu syaikh/kiayi jika perbuatannya menyelisihi syariat. Yang menjadi hujjah adalah al-Quran, sunah dan apa-apa yang telah disepakati oleh salaful ummah (generasi awal umat ini). Tidak ada seorang manusiapun yang selamat dari kesalahan. Bagaimana kemudian mengikuti mereka yang tidak diketahui kekuatan ilmu dan keteladanannya kepada manhaj salafussoleh (metode generasi awal). Allah  berfirman,
          
"Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah." (QS.al-An'am:116)
Bagaimana kalian mendahulukan ketaatan kepada para syaikh/kiayi dari pada kepada Allah dan rasul-Nya serta para imam seperti: Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, Ahmad dan ulama lain yang dikenal keilmuan, amal, zuhud, dan ibadahnya. Sedangkan toriqot-toriqot sufi yang baru itu telah menyakiti Islam dengan tampilan menariknya.
Aku tanya kalian: apakah dalam Islam, agama yang agung ini terdapat dansa dan kesia-siaan di dalamnya.
Apakah Nabi  dan para sahabatnya berdansa, menari dan bernyanyi sebagaimana dilakukan oleh para tukang kelakar dan kefasikan.
Sudah datang waktunya bagi kalian wahai awam muslimin untuk membebaskan akal kalian dari kurafat-kurafat dan senda-gurau yang diwajibkan kepada kalian oleh mereka yang mengklaim mencintai dan membela nabi.
Telah datang waktunya bagi kalian untuk membebaskan diri dari tali belenggu syaikh/kiai toriqot sufiah dan menjadi orang merdeka dalam menyembah/beribadah kepada Allah sesuai petunjuk.
Telah usai zaman kejumudan dan takhaluful fikri (irasional) yang menimpa dunia Islam dalam pertengahan sejarahnya, dimana sunah dan meneladani Nabi  melemah sehingga menyebar kebodohan, bid'ah dan khurafat. Kini tiba –Alhamdulillah- zaman ittiba (meneladani Nabi) dan hujjah (bukti/dalil), mencari kebenaran, menyebarnya sunah dan ketaatan.
Pada akhirnya, wahai mereka yang mencintai Nabi  dan berupaya untuk menempuh jalan itu, aku iba kepadamu dan mengingatkanmu; jangan sampai datang pada hari kiamat dan tiba di telaga Nabi  untuk minum tetapi engkau diusir dari telaga itu, dan beliau justru menuntutmu atas perubahan dan pergantian yang engkau lakukan dalam agamamu.
Al-Bukhari meriwayatkan dari Sahl bin Sa'ad, bahwa Nabi  bersabda,
لَيَرِدَنَّ عَلَىَّ أَقْوَامٌ أَعْرِفُهُمْ وَيَعْرِفُونِى ، ثُمَّ يُحَالُ بَيْنِى وَبَيْنَهُمْ
"Sungguh didatangkan kepadaku kaum yang aku ketahui dan mereka mengetahuiku, kemudian diberi pembatas antara aku dengan mereka."
Abu Hazim berkata, " An-Nu'man bin Abi 'Iyasy mendengar hadits yang aku riwayatkan dan dia bertanya:
"Demikiankah yang dikatakan oleh Sahl?!"
"Ya." Jawab Abu Hazim.
Abu Hazim berkata, "Aku bersumpah mendengar Abu Sa'id al-Khudri menambahkan riwayat hadits itu: Nabi berkata,
فَأَقُولُ إِنَّهُمْ مِنِّى
"Dan aku katakan (kepada malaikat), 'Mereka adalah ummatku!'."
Malaikat menjawab:
"Sesungguhnya engkau tidak tahu apa yang mereka buat setelah kematianmu."
Nabi  berkata,
فَأَقُولُ سُحْقًا سُحْقًا لِمَنْ غَيَّرَ بَعْدِى
"Maka akupun mengatakan: jauh-jauh bagi siapa yang merubah ajaranku setelah (kematian)ku."
Wallahu A'lam.

Ada pun Pendapat yang pro berpendapat ; Pada bulan Rabiul Awwal ini kita menyaksikan di belahan dunia islam, kaum muslimin merayakan Maulid, Kelahiran Nabi Muhammad Saw dengan cara dan adat yang mungkin beraneka ragam dan berbeda-beda. Tetapi tetap pada satu tujuan, yaitu memperingati kelahiran Nabi mereka dan menunjukkan rasa suka cita dan bergembira dengan kelahiran beliau Saw. Tak terkecuali di negara kita Indonesia, di kota maupun di desa masyarakat begitu antusias melakukan perayaan tersebut.

Demikian pemandangan yang kita saksikan setiap datang bulan Rabiul awwal.
Telah ratusan tahun kaum muslimin merayakan maulid Nabi Saw, Insan yang paling mereka cintai. Tetapi hingga kini masih ada saja orang yang menolaknya dengan berbagai hujjah. Diantaranya mereka mengatakan, orang-orang yang mengadakan peringatan Maulid Nabi menjadikannya sebagai ‘Id (Hari Raya) yang syar’i, seperti ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha. Padahal, peringatan itu, menurut mereka, bukanlah sesuatu yang berasal dari ajaran agama. Benarkah demikian? Apakah yang mereka katakan itu sesuai dengan prinsip-prinsip agama, ataukah justru sebaliknya?

Di antara ulama kenamaan di dunia yang banyak menjawab persoalan-persoalan seperti itu, yang banyak dituduhkan kepada kaum Ahlussunnah wal Jama’ah, adalah As Sayyid Al Muhaddits Al Imam Muhammad bin Alawi Al Maliki. Berikut ini kami nukilkan uraian dan ulasan beliau mengenai hal tersebut sebagaimana termaktub dalam kitab beliau Dzikrayat wa Munasabat dan Haul al Ihtifal bi Dzikra Maulid An Nabawi Asy Syarif.

Hari Maulid Nabi SAW lebih besar, lebih agung, dan lebih mulia daripada ‘Id. ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha hanya berlangsung sekali dalam setahun, sedangkan peringatan Maulid Nabi SAW, mengingat beliau dan sirahnya, harus berlangsung terus, tidak terkait dengan waktu dan tempat.

Hari kelahiran beliau lebih agung daripada ‘Id, meskipun kita tidak menamainya ‘Id. Mengapa? Karena beliaulah yang membawa ‘Id dan berbagai kegembiraan yang ada di dalamnya. Karena beliau pula, kita memiliki hari-hari lain yang agung dalam Islam. Jika tidak ada kelahiran beliau, tidak ada bi’tsah (dibangkitkannya beliau sebagai rasul), Nuzulul Quran (turunnya AI-Quran), Isra Mi’raj, hijrah, kemenangan dalam Perang Badar, dan Fath Makkah (Penaklukan Makkah), karena semua itu berhubungan dengan beliau dan dengan kelahiran beliau, yang merupakan sumber dari kebaikan-kebaikan yang besar.

Banyak dalil yang menunjukkan bolehnya memperingati Maulid yang mulia ini dan berkumpul dalam acara tersebut, di antaranya yang disebutkan oleh Prof. DR. As Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki. Sebelum mengemukakan dalil-dalil tersebut, beliau menjelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan peringatan Maulid.

Pertama, kita memperingati Maulid Nabi SAW bukan hanya tepat pada hari kelahirannya, melainkan selalu dan selamanya, di setiap waktu dan setiap kesempatan ketika kita mendapatkan kegembiraan, terlebih lagi pada bulan kelahiran beliau, yaitu Rabi’ul Awwal, dan pada hari kelahiran beliau, hari Senin. Tidak layak seorang yang berakal bertanya, “Mengapa kalian memperingatinya?” Karena, seolah-olah ia bertanya, “Mengapa kalian bergembira dengan adanya Nabi SAW?”.
Apakah sah bila pertanyaan ini timbul dari seorang muslim yang mengakui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu utusan Allah? Pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang bodoh dan tidak membutuhkan jawaban. Seandainya pun saya, misalnya, harus menjawab, cukuplah saya menjawabnya demikian, “Saya memperingatinya karena saya gembira dan bahagia dengan beliau, saya gembira dengan beliau karena saya mencintainya, dan saya mencintainya karena saya seorang mukmin”.

Kedua, yang kita maksud dengan peringatan Maulid adalah berkumpul untuk mendengarkan sirah beliau dan mendengarkan pujian-pujian tentang diri beliau, juga memberi makan orangorang yang hadir, memuliakan orangorang fakir dan orang-orang yang membutuhkan, serta menggembirakan hati orang-orang yang mencintai beliau.

Ketiga, kita tidak mengatakan bahwa peringatan Maulid itu dilakukan pada malam tertentu dan dengan cara tertentu yang dinyatakan oleh nash-nash syariat secara jelas, sebagaimana halnya shalat, puasa, dan ibadah yang lain. Tidak demikian. Peringatan Maulid tidak seperti shalat, puasa, dan ibadah. Tetapi juga tidak ada dalil yang melarang peringatan ini, karena berkumpul untuk mengingat Allah dan Rasul-Nya serta hal-hal lain yang baik adalah sesuatu yang harus diberi perhatian semampu kita, terutama pada bulan Maulid.

Keempat, berkumpulnya orang untuk memperingati acara ini adalah sarana terbesar untuk dakwah, dan merupakan kesempatan yang sangat berharga yang tak boleh dilewatkan. Bahkan, para dai dan ulama wajib mengingatkan umat tentang Nabi, baik akhlaqnya, hal ihwalnya, sirahnya, muamalahnya, maupun ibadahnya, di samping menasihati mereka menuju kebaikan dan kebahagiaan serta memperingatkan mereka dari bala, bid’ah, keburukan, dan fitnah.

Yang pertama merayakan Maulid Nabi SAW adalah shahibul Maulid sendiri, yaitu Nabi SAW, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih yang diriwayatkan Muslim bahwa, ketika ditanya mengapa berpuasa di hari Senin, beliau menjawab, “Itu adalah hari kelahiranku.” Ini nash yang paling nyata yang menunjukkan bahwa memperingati Maulid Nabi adalah sesuatu yang dibolehkan syara’.

Dalil-dalil Maulid

Banyak dalil yang bisa kita jadikan sebagai dasar diperbolehkannya memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW .

Pertama, peringatan Maulid Nabi SAW adalah ungkapan kegembiraan dan kesenangan dengan beliau. Bahkan orang kafir saja mendapatkan manfaat dengan kegembiraan itu (Ketika Tsuwaibah, budak perempuan Abu Lahab, paman Nabi, menyampaikan berita gembira tentang kelahiran sang Cahaya Alam Semesta itu, Abu Lahab pun memerdekakannya. Sebagai tanda suka cita. Dan karena kegembiraannya, kelak di alam baqa’ siksa atas dirinya diringankan setiap hari Senin tiba. Demikianlah rahmat Allah terhadap siapa pun yang bergembira atas kelahiran Nabi, termasuk juga terhadap orang kafir sekalipun. Maka jika kepada seorang yang kafir pun Allah merahmati, karena kegembiraannya atas kelahiran sang Nabi, bagaimanakah kiranya anugerah Allah bagi umatnya, yang iman selalu ada di hatinya?)

Kedua, beliau sendiri mengagungkan hari kelahirannya dan bersyukur kepada Allah pada hari itu atas nikmatNya yang terbesar kepadanya.

Ketiga, gembira dengan Rasulullah SAW adalah perintah AI-Quran. Allah SWT berfirman, “Katakanlah, ‘Dengan karunia Allah dan rahmatNya, hendaklah dengan itu mereka bergembira’.” (QS Yunus: 58). Jadi, Allah SWT menyuruh kita untuk bergembira dengan rahmat-Nya, sedangkan Nabi SAW merupakan rahmat yang terbesar, sebagaimana tersebut dalam Al-Quran, “Dan tidaklah Kami mengutusmu melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam.” (QS Al-Anbiya’: 107).

Keempat, Nabi SAW memperhatikan kaitan antara waktu dan kejadian-kejadian keagamaan yang besar yang telah lewat. Apabila datang waktu ketika peristiwa itu terjadi, itu merupakan kesempatan untuk mengingatnya dan mengagungkan harinya.

Kelima, peringatan Maulid Nabi SAW mendorong orang untuk membaca shalawat, dan shalawat itu diperintahkan oleh Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat atas Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuknya dan ucapkanlah salam sejahtera kepadanya.” (QS Al-Ahzab: 56).
Apa saja yang mendorong orang untuk melakukan sesuatu yang dituntut oleh syara’, berarti hal itu juga dituntut oleh syara’. Berapa banyak manfaat dan anugerah yang diperoleh dengan membacakan salam kepadanya.

Keenam, dalam peringatan Maulid disebut tentang kelahiran beliau, mukjizat-mukjizatnya, sirahnya, dan pengenalan tentang pribadi beliau. Bukankah kita diperintahkan untuk mengenalnya serta dituntut untuk meneladaninya, mengikuti perbuatannya, dan mengimani mukjizatnya. Kitab-kitab Maulid menyampaikan semuanya dengan lengkap.

Ketujuh, peringatan Maulid merupakan ungkapan membalas jasa beliau dengan menunaikan sebagian kewajiban kita kepada beliau dengan menjelaskan sifat-sifatnya yang sempurna dan akhlaqnya yang utama.
Dulu, di masa Nabi, para penyair datang kepada beliau melantunkan qashidah-qashidah yang memujinya. Nabi ridha (senang) dengan apa yang mereka lakukan dan memberikan balasan kepada mereka dengan kebaikan-kebaikan. Jika beliau ridha dengan orang yang memujinya, bagaimana beliau tidak ridha dengan orang yang mengumpulkan keterangan tentang perangai-perangai beliau yang mulia. Hal itu juga mendekatkan diri kita kepada beliau, yakni dengan manarik kecintaannya dan keridhaannya.

Kedelapan, mengenal perangai beliau, mukjizat-mukjizatnya, dan irhash-nya (kejadian-kejadian luar biasa yang Allah berikan pada diri seorang rasul sebelum diangkat menjadi rasul), menimbulkan iman yang sempurna kepadanya dan menambah kecintaan terhadapnya.
Manusia itu diciptakan menyukai hal-hal yang indah, balk fisik (tubuh) maupun akhlaq, ilmu maupun amal, keadaan maupun keyakinan. Dalam hal ini tidak ada yang lebih indah, lebih sempurna, dan lebih utama dibandingkan akhlaq dan perangai Nabi. Menambah kecintaan dan menyempurnakan iman adalah dua hal yang dituntut oleh syara’. Maka, apa saja yang memunculkannya juga merupakan tuntutan agama.

Kesembilan, mengagungkan Nabi SAW itu disyariatkan. Dan bahagia dengan hari kelahiran beliau dengan menampakkan kegembiraan, membuat jamuan, berkumpul untuk mengingat beliau, serta memuliakan orang-orang fakir, adalah tampilan pengagungan, kegembiraan, dan rasa syukur yang paling nyata.

Kesepuluh, dalam ucapan Nabi SAW tentang keutamaan hari Jum’at, disebutkan bahwa salah satu di antaranya adalah, “Pada hari itu Adam diciptakan:” Hal itu menunjukkan dimuliakannya waktu ketika seorang nabi dilahirkan. Maka bagaimana dengan hari di lahirkannya nabi yang paling utama dan rasul yang paling mulla?

Kesebelas, peringatan Maulid adalah perkara yang dipandang bagus oleh para ulama dan kaum muslimin di semua negeri dan telah dilakukan di semua tempat. Karena itu, ia dituntut oleh syara’, berdasarkan qaidah yang diambil dari hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Mas’ud, “Apa yang dipandang balk oleh kaum muslimin, ia pun balk di sisi Allah; dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin, ia pun buruk di sisi Allah.”

Kedua belas, dalam peringatan Maulid tercakup berkumpulnya umat, dzikir, sedekah, dan pengagungan kepada Nabi SAW. Semua itu hal-hal yang dituntut oleh syara’ dan terpuji.

Ketiga belas, Allah SWT berfirman, “Dan semua kisah dari rasul-rasul, Kami
ceritakan kepadamu, yang dengannya Kami teguhkan hatimu:’ (QS Hud: 120). Dari ayat ini nyatalah bahwa hikmah dikisahkannya para rasul adalah untuk meneguhkan hati Nabi. Tidak diragukan lagi bahwa saat ini kita pun butuh untuk meneguhkan hati kita dengan berita-berita tentang beliau, lebih dari kebutuhan beliau akan kisah para nabi sebelumnya.

Keempat belas, tidak semua yang tidak pernah dilakukan para salaf dan tidak ada di awal Islam berarti bid’ah yang munkar dan buruk, yang haram untuk dilakukan dan wajib untuk ditentang. Melainkan apa yang “baru” itu (yang belum pernah dilakukan) harus dinilai berdasarkan dalii-dalil syara’.

Kelima belas, tidak semua bid’ah itu diharamkan. Jika haram, niscaya haramlah pengumpulan Al-Quran, yang dilakukan Abu Bakar, Umar, dan Zaid, dan penulisannya di mushaf-mushaf karena khawatir hilang dengan wafatnya para sahabat yang hafal Al-Quran. Haram pula apa yang dilakukan Umar ketika mengumpulkan orang untuk mengikuti seorang imam ketika melakukan shalat Tarawih, padahal ia mengatakan, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” Banyak lagi perbuatan baik yang sangat dibutuhkan umat akan dikatakan bid’ah yang haram apabila semua bid’ah itu diharamkan.

Keenam belas, peringatan Maulid Nabi, meskipun tidak ada di zaman Rasulullah SAW, sehingga merupakan bid’ah, adalah bid’ah hasanah (bid’ah yang balk), karena ia tercakup di dalam dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah kulliyyah (yang bersifat global).
Jadi, peringatan Maulid itu bid’ah jika kita hanya memandang bentuknya, bukan perinaan-perinaan amalan yang terdapat di dalamnya (sebagaimana terdapat dalam dalil kedua belas), karena amalan-amalan itu juga ada di masa Nabi.

Ketujuh belas, semua yang tidak ada pada awal masa Islam dalam bentuknya tetapi perincian-perincian amalnya ada, juga dituntut oleh syara’. Karena, apa yang tersusun dari hal-hal yang berasal dari syara’, pun dituntut oleh syara’.

Kedelapan belas, Imam Asy-Syafi’i mengatakan, “Apa-apa yang baru (yang belum ada atau dilakukan di masa Nabi SAW) dan bertentangan dengan Kitabullah, sunnah, ijmak, atau sumber lain yang dijadikan pegangan, adalah bid’ah yang sesat. Adapun suatu kebaikan yang baru dan tidak bertentangan dengan yang tersebut itu, adalah terpuji ”

Kesembilan belas, setiap kebaikan yang tercakup dalam dalil-dalil syar’i dan tidak dimaksudkan untuk menyalahi syariat dan tidak pula mengandung suatu kemunkaran, itu termasuk ajaran agama.

Keduapuluh, memperingati Maulid Nabi SAW berarti menghidupkan ingatan (kenangan) tentang Rasulullah, dan itu menurut kita disyariatkan dalam Islam. Sebagaimana yang Anda lihat, sebagian besar amaliah haji pun menghidupkan ingatan tentang peristiwa-peristiwa terpuji yang telah lalu.

Kedua puluh satu, semua yang disebutkan sebelumnya tentang dibolehkannya secara syariat peringatan Maulid Nab! SAW hanyalah pada peringatan-peringatan yang tidak disertai perbuatan-perbuatan munkar yang tercela, yang wajib ditentang.

Adapun jika peringatan Maulid mengandung hal-hal yang disertai sesuatu yang wajib diingkari, seperti bercampurnya laki-laki dan perempuan, dilakukannya perbuatanperbuatan yang terlarang, dan banyaknya pemborosan dan perbuatan-perbuatan lain yang tidak diridhai Shahibul Maulid, tak diragukan lagi bahwa itu diharamkan. Tetapi keharamannya itu bukan pada peringatan Maulidnya itu sendiri, melainkan pada hal-hal yang terlarang tersebut.(Sumber : http://www.madinatulilmi.com/?prm=posting&kat=1&var=detail&id=327)

Bagaimana Di Indonesia? dari dua paham tersebut diatas memberikan gambaran kepada kita semua tentang ukuran, tingkatan ketauhidan kita dimana berpijak, tentu oleh karena itu kita harus bijak kemana mengambil langkah akan kita dalam kehidupan beribadah kita kepada Allah SWT. Jujungan kita Nabi Besar, Nabi Muhammad SAW, yang tentunya mencari keridhoan dalam menuju tingkatan taqwa sebenar-benarnya terutama bagi yang masih dangkal pemahaman tentang keislaman




Sabtu, 12 Februari 2011

Fatwa Ulama tentang Hari Valentine

Oleh : Al-Lajnah Ad-Da’ imah lil Buhuts Al-’Ilmiyah wal Ifta’
(Dewan Ulama untuk Pembahasan Ilmiah dan Fatwa – bertempat di Kerajaan Arab Saudi)


Pertanyaan:
Al-Lajnah Ad-Da’ imah lil Buhuts Al-’Ilmiyah wal Ifta’ ditanya : Setiap tahunnya, pada tanggal 14 Februari, sebagian orang merayakan valentin’s day. Mereka saling betukar hadiah berupa bunga merah, mengenakan pakaian berwarna merah, saling mengucapkan selamat dan sebagian toko atau produsen permen membuat atau menyediakan permen-permen yang berwarna merah lengkap dengan gambar hati, bahkan sebagian toko mengiklankan produk-produknya yang dibuat khusus untuk hari tersebut. Bagaimana pendapat Syaikh tentang:
Pertama: Merayakan hari tersebut?
Kedua: Membeli produk-produk khusus tersebut pada hari itu?
Ketiga: Transaksi jual beli di toko
(yang tidak ikut merayakan) yang menjual barang yang bisa dihadiahkan pada hari tersebut, kepada orang yang hendak merayakannya?

Semoga Allah membalas Syaikh dengan kebaikan.

Jawaban:

Berdasarkan dalil-dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah, para pendahulu umat sepakat menyatakan bahwa hari raya dalam Islam hanya ada dua, yaitu Idul Fithri dan Idul Adha, selain itu, semua hari raya yang berkaitan dengan seseorang, kelompok, peristiwa atau lainnya adalah bid’ah, kaum muslimin tidak boleh melakukannya, mengakuinya, menampakkan kegembiraan karenanya dan membantu terselenggaranya, karena perbuatan ini merupakan perbuatan yang melanggar batas-batas Allah, sehingga dengan begitu pelakunya berarti telah berbuat aniaya terhadap dirinya sendiri.

Jika hari raya itu merupakan simbol orang-orang kafir, maka ini merupakan dosa lainnya, karena dengan begitu berarti telah bertasyabbuh (menyerupai) mereka di samping merupakan keloyalan terhadap mereka, padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarang kaum mukminin ber-tasyabbuh dengan mereka dan loyal terhadap mereka di dalam KitabNya yang mulia, dan telah diriwayatkan secara pasti dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda.

“Artinya : Barangsiapa menyerupai suatu kaum, berarti ia termasuk golongan mereka.”[1]

Valentin’s day termasuk jenis yang disebutkan tadi, karena merupakan hari raya Nashrani, maka seorang muslim yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir tidak boleh melakukannya, mengakuinya atau ikut mengucapkan selamat, bahkan seharusnya meninggalkannya dan menjauhinya sebagai sikap taat terhadap Allah dan RasulNya serta untuk menjauhi sebab-sebab yang bisa menimbulkan kemurkaan Allah dan siksaNya.

Lain dari itu, diharamkan atas setiap muslim untuk membantu penyelenggaraan hari raya tersebut dan hari raya lainnya yang diharamkan, baik itu berupa makanan, minuman, penjualan, pembelian, produk, hadiah, surat, iklan dan sebagainya, karena semua ini termasuk tolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan serta maksiat terhadap Allah dan RasulNya, sementara Allah Swt telah berfirman.

“Artinya : Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksaNya.” [Al-Ma'idah: 2]

Dari itu, hendaknya setiap muslim berpegang teguh dengan Al-Kitab dan As-Sunnah dalam semua kondisi, lebih-lebih pada saat-saat terjadinya fitnah dan banyaknya kerusakan. Hendaknya pula ia benar-benar waspada agar tidak terjerumus ke dalam kese-satan orang-orang yang dimurkai, orang-orang yang sesat dan orang-orang fasik yang tidak mengharapkan kehormatan dari Allah dan tidak menghormati Islam.

Dan hendaknya seorang muslim kembali kepada Allah dengan memohon petunjukNya dan keteguhan didalam petunjukNya. Sesungguhnya, tidak ada yang dapat memberi petunjuk selain Allah dan tidak ada yang dapat meneguhkan dalam petunjukNya selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hanya Allah lah yang kuasa memberi petunjuk.

Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.

[Fatawa Al-Lajnah Ad-Da' imah lil Buhuts Al-'Ilmiyah wal Ifta' (21203) tanggal 22/11/1420H]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Darul Haq]
_________
Foote Note
[1]. HR. Abu Dawud dalam Al-Libas (4031), Ahmad (5093, 5094, 5634).
Sumber : http://izkahubb.wordpress.com/ dari http://almanhaj.or.id/

Hukum Merayakan Hari Valentine

Keinginan untuk ikut-ikutan memang ada dalam diri manusia, akan tetapi hal tersebut menjadi tercela dalam Islam apabila orang yang diikuti berbeda dengan kita dari sisi keyakinan dan pemikirannya. Apalagi bila mengikuti dalam perkara akidah, ibadah, syi’ar dan kebiasaan. Padahal Rasul Shallallaahu alaihi wa Salam telah melarang untuk mengikuti tata cara peribadatan selain Islam:

“Barang siapa meniru suatu kaum, maka ia termasuk dari kaum tersebut.” (HR. At-Tirmidzi).

Bila dalam merayakannya bermaksud untuk mengenang kembali Valentine maka tidak disangsikan lagi bahwa ia telah kafir. Adapun bila ia tidak bermaksud demikian maka ia telah melakukan suatu kemungkaran yang besar. Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata,

“Memberi selamat atas acara ritual orang kafir yang khusus bagi mereka, telah disepakati bahwa perbuatan tersebut haram. Semisal memberi selamat atas hari raya dan puasa mereka, dengan mengucapkan, “Selamat hari raya!” dan sejenisnya.

Bagi yang mengucapkannya, kalau pun tidak sampai pada kekafiran, paling tidak itu merupakan perbuatan haram. Berarti ia telah memberi selamat atas perbuatan mereka yang menyekutukan Allah. Bahkan perbuatan tersebut lebih besar dosanya di sisi Allah dan lebih dimurkai dari pada memberi selamat atas perbuatan minum khamar atau membunuh.

Banyak orang yang kurang mengerti agama terjerumus dalam suatu perbuatan tanpa menyadari buruknya perbuatan tersebut. Seperti orang yang memberi selamat kepada orang lain atas perbuatan maksiat, bid’ah atau kekufuran maka ia telah menyiapkan diri untuk mendapatkan kemarahan dan kemurkaan Allah.”

Abu Waqid Radhiallaahu anhu meriwayatkan:

Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam saat keluar menuju perang Khaibar, beliau melewati sebuah pohon milik orang-orang musyrik, yang disebut dengan Dzaatu Anwaath, biasanya mereka menggantungkan senjata-senjata mereka di pohon tersebut. Para sahabat Rasulullah n berkata, “Wahai Rasulullah, buatkan untuk kami Dzaatu Anwaath, sebagaimana mereka mempunyai Dzaatu Anwaath.”

Maka Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda, “Maha Suci Allah, ini seperti yang diucapkan kaum Nabi Musa, ‘Buatkan untuk kami tuhan sebagaimana mereka mempunyai tuhan-tuhan.’ Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, sungguh kalian akan mengikuti kebiasaan orang-orang yang ada sebelum kalian.” (HR. At-Tirmidzi, ia berkata, hasan shahih).

Syaikh Al-Utsaimin rahimahullah ketika ditanya tentang Valentine’s Day mengatakan :

“Merayakan hari Valentine itu tidak boleh, karena:

Pertama: ia merupakan hari raya bid‘ah yang tidak ada dasar hukumnya di dalam syari‘at Islam.

Kedua: ia dapat menyebabkan hati sibuk dengan perkara-perkara rendahan seperti ini yang sangat bertentangan dengan petunjuk para salaf shalih (pendahulu kita) – semoga Allah meridhai mereka. Maka tidak halal melakukan ritual hari raya, baik dalam bentuk makan-makan, minum-minum, berpakaian, saling tukar hadiah ataupun lainnya.

Hendaknya setiap muslim merasa bangga dengan agamanya, tidak menjadi orang yang tidak mempunyai pegangan dan ikut-ikutan. Semoga Allah melindungi kaum muslimin dari segala fitnah (ujian hidup), yang tampak ataupun yang tersembunyi dan semoga meliputi kita semua dengan bimbingan-Nya.”

Maka adalah wajib bagi setiap orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat untuk melaksanakan wala’ dan bara’ ( loyalitas kepada muslimin dan berlepas diri dari golongan kafir) yang merupakan dasar akidah yang dipegang oleh para salaf shalih. Yaitu mencintai orang-orang mu’min dan membenci dan menyelisihi (membedakan diri dengan) orang-orang kafir dalam ibadah dan perilaku.

Di antara dampak buruk menyerupai mereka adalah: ikut mempopulerkan ritual-ritual mereka sehingga terhapuslah nilai-nilai Islam. Dampak buruk lainnya, bahwa dengan mengikuti mereka berarti memperbanyak jumlah mereka, mendukung dan mengikuti agama mereka, padahal seorang muslim dalam setiap raka’at shalatnya membaca,

“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (Al-Fatihah:6-7)

Bagaimana bisa ia memohon kepada Allah agar ditunjukkan kepadanya jalan orang-orang yang mukmin dan dijauhkan darinya jalan golongan mereka yang sesat dan dimurkai, namun ia sendiri malah menempuh jalan sesat itu dengan sukarela.

Lain dari itu, mengekornya kaum muslimin terhadap gaya hidup mereka akan membuat mereka senang serta dapat melahirkan kecintaan dan keterikatan hati. Allah Subhannahu wa Ta’ala telah berfirman, yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Al-Maidah:51)

“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya.” (Al-Mujadilah: 22)

Ada seorang gadis mengatakan, bahwa ia tidak mengikuti keyakinan mereka, hanya saja hari Valentine tersebut secara khusus memberikan makna cinta dan suka citanya kepada orang-orang yang memperingatinya.

Saudaraku! Ini adalah suatu kelalaian, padahal sekali lagi: Perayaan ini adalah acara ritual agama lain! Hadiah yang diberikan sebagai ungkapan cinta adalah sesuatu yang baik, namun bila dikaitkan dengan pesta-pesta ritual agama lain dan tradisi-tradisi Barat, akan mengakibatkan seseorang terobsesi oleh budaya dan gaya hidup mereka.

Mengadakan pesta pada hari tersebut bukanlah sesuatu yang sepele, tapi lebih mencerminkan pengadopsian nilai-nilai Barat yang tidak memandang batasan normatif dalam pergaulan antara pria dan wanita sehingga saat ini kita lihat struktur sosial mereka menjadi porak-poranda.

Alhamdulillah, kita mempunyai pengganti yang jauh lebih baik dari itu semua, sehingga kita tidak perlu meniru dan menyerupai mereka. Di antaranya, bahwa dalam pandangan kita, seorang ibu mempunyai kedudukan yang agung, kita bisa mempersembahkan ketulusan dan cinta itu kepadanya dari waktu ke waktu, demikian pula untuk ayah, saudara, suami …dst, tapi hal itu tidak kita lakukan khusus pada saat yang dirayakan oleh orang-orang kafir.

Semoga Allah Subhannahu wa Ta’ala senantiasa menjadikan hidup kita penuh dengan kecintaan dan kasih sayang yang tulus, yang menjadi jembatan untuk masuk ke dalam Surga yang hamparannya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa. Semoga Allah Subhannahu wa Ta’ala menjadikan kita termasuk dalam golongan orang-orang yang disebutkan:

“Kecintaan-Ku adalah bagi mereka yang saling mencintai karena Aku, yang saling mengunjungi karena Aku dan yang saling berkorban karena Aku.” (Al-Hadits).

—————————

Sumber : Buletin An-Nur Masjid Jami’ Al-Sofwah Jakarta

http://izkahubb.wordpress.com/

Senin, 07 Februari 2011

Kupu-Kupu Berpola Wajah Manusia

Sumber : detikSurabaya,Senin, 07/02/2011 11:40 WIB

Surabaya - Sudah seminggu kupu-kupu (ngengat) berpola wajah manusia 'dipelihara' Nafiah (55), warga Jalan Wonosari Wetan ID/12 Surabaya. Meski tidak pernah berniat menjual, namun kupu-kupu aneh tersebut pernah ditawar seseorang seharga Rp 3 juta.

Semenjak ditemukan pada Rabu (2/2/2011) lalu, makhluk bersayap unik itu berada di sangkarnya, di sebuah kotak kaca akuarium berukuran 20 x 60 cm dengan taburan bunga sebagai makanannya

"Saya belum ada niat untuk menjual atau memberikan makhluk ini ke orang lain. Untuk sementara kupu-kupu ini akan saya rawat dulu," kata anak Nafiah, Sutrisno (33), saat berbincang dengan detiksurabaya.com di rumahnya, Jalan Wonosari Wetan ID/12, Senin (7/2/2011).

Sutrisno mengatakan bahwa meski tidak dijual tetapi tawaran untuk menjual makhluk itu pernah ada. Dua orang, kata Sutrisno, pernah menawar serangga itu. Pada hari= pertama, seseorang datang dan mencoba membeli kupu-kupu itu seharga Rp 100 ribu. "Tentu saja saya tolak karena kupu-kupu itu baru saja ditemukan," tambah ayah dua anak itu.

Pada hari kedua, cerita Sutrisno, ada seseorang yang datang dan menawar kupu-kupu itu seharga Rp 3 juta. Alasannya, tertarik karena melihat pola unik seperti wajah manusia di sayap serangga itu.

"Tawaran itu juga saya tolak. Masak sih makhluk seperti itu dihargai segitu. Saya belum punya gambaran mau diapakan makhluk ini, yang penting sekarang saya rawat dulu," tandas Sutrisno.