TUTWURI ANDAYANI


Senin, 14 Februari 2011

ANTARA YA DAN TIDAK? PERINGATAN MAULID NABI MUHAMMAD SAW

Dalam artibahasa, Maulid Nabi Muhammad SAW kadang-kadang Maulid Nabi atau Maulud saja (bahasa Arab: مولد، مولد النبي‎, mawlidun-nabī), adalah peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW, yang di Indonesia perayaannya jatuh pada setiap tanggal 12 Rabiul Awal dalam penanggalan Hijriyah. Kata maulid atau milad dalam bahasa Arab berarti hari lahir. Perayaan Maulid Nabi merupakan tradisi yang berkembang di masyarakat Islam jauh setelah Nabi Muhammad wafat. Secara subtansi, peringatan ini adalah ekspresi kegembiraan dan penghormatan kepada Nabi Muhammad.

Dari sejarahnya, perayaan Maulid Nabi diperkirakan pertama kali diperkenalkan oleh Abu Said al-Qakburi, seorang gubernur Irbil, di Irak pada masa pemerintahan Sultan Salahuddin Al-Ayyubi (1138-1193). Adapula yang berpendapat bahwa idenya justru berasal dari Sultan Salahuddin sendiri. Tujuannya adalah untuk membangkitkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW, serta meningkatkan semangat juang kaum muslimin saat itu, yang sedang terlibat dalam Perang Salib melawan pasukan Kristen Eropa dalam upaya memperebutkan kota Yerusalem dan sekitarnya.

Sebagian masyarakat muslim Sunni dan Syiah di dunia merayakan Maulid Nabi. Muslim Sunni merayakannya pada tanggal 12 Rabiul Awal sedangkan muslim Syiah merayakannya pada tanggal 17 Rabiul Awal, yang juga bertepatan dengan ulang tahun Imam Syiah yang keenam, yaitu Imam Ja'far ash-Shadiq.

Maulid dirayakan pada banyak negara dengan penduduk mayoritas Muslim di dunia, serta di negara-negara lain di mana masyarakat Muslim banyak membentuk komunitas, contohnya antara lain di India, Britania, dan Kanada, Arab Saudi adalah satu-satunya negara dengan penduduk mayoritas Muslim yang tidak menjadikan Maulid sebagai hari libur resmi. Partisipasi dalam ritual perayaan hari besar Islam ini umumnya dipandang sebagai ekspresi dari rasa keimanan dan kebangkitan keberagamaan bagi para penganutnya.

Masyarakat muslim di Indonesia umumnya menyambut Maulid Nabi dengan mengadakan perayaan-perayaan keagamaan seperti pembacaan shalawat nabi, pembacaan syair Barzanji dan pengajian. Menurut penanggalan Jawa bulan Rabiul Awal disebut bulan Mulud, dan acara Muludan juga dirayakan dengan perayaan dan permainan gamelan Sekaten, hal itu terjadi di kota Jogya.

Akan tetapi ada perpedaan paham dalam memahai dari beberapa kaum ulama yang berpaham Salafi dan Wahhabi yang tidak merayakannya karena menganggap perayaan Maulid Nabi merupakan sebuah bid'ah, yaitu kegiatan yang bukan merupakan ajaran Nabi Muhammad SAW. Mereka berpendapat bahwa kaum muslim yang merayakannya keliru dalam menafsirkannya sehingga keluar dari esensi kegiatannya. Namun demikian, terdapat pula ulama yang berpendapat bahwa peringatan Maulid Nabi bukanlah hal bid'ah, karena merupakan pengungkapan rasa cinta kepada Nabi Muhammad SAW.
Dibawah ini terdapat paham yaitu Syaikh Muhammad bin Shaleh Al 'Utsaimin rahimahullah –semoga Allah membalas jerih payahnya terhadap Islam dan kaum muslimin dengan sebaik-baik balasan- , beliau pernah ditanya tentang hukumnya memperingati maulid Nabi r ?

Maka Syaikh Muhammad bin Shaleh Al 'Utsaimin rahimahullah menjawab:
1. Malam kelahiran Rasulullah r tidak diketahui secara qath'i (pasti), bahkan sebagian ulama kontemporer menguatkan pendapat yang mengatakan bahwasannya ia terjadi pada malam ke 9 (sembilan) Rabi'ul Awwal dan bukan malam ke 12 (dua belas). Jika demikian maka peringatan maulid Nabi Muhammad r yang biasa diperingati pada malam ke 12 (dua belas) Rabi'ul Awwal tidak ada dasarnya, bila dilihat dari sisi sejarahnya.

2. Di lihat dari sisi syar'i, maka peringatan maulid Nabi r juga tidak ada dasarnya. Jika sekiranya acara peringatan maulid Nabi r disyari'atkan dalam agama kita, maka pastilah acara maulid ini telah di adakan oleh Nabi r atau sudah barang tentu telah beliau anjurkan kepada ummatnya. Dan jika sekiranya telah beliau laksanakan atau telah beliau anjurkan kepada ummatnya, niscaya ajarannya tetap terpelihara hingga hari ini, karena Allah ta'ala berfirman :

“Sesungguhnya Kami-lah yang telah menurunkan Al Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. Q.S; Al Hijr : 9 .

Dikarenakan acara peringatan maulid Nabi r tidak terbukti ajarannya hingga sekarang ini, maka jelaslah bahwa ia bukan termasuk dari ajaran agama. Dan jika ia bukan termasuk dari ajaran agama, berarti kita tidak diperbolehkan untuk beribadah kepada Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan acara peringatan maulid Nabi r tersebut.

Allah telah menentukan jalan yang harus ditempuh agar dapat sampai kepada-Nya, yaitu jalan yang telah dilalui oleh Rasulullah r, maka bagaimana mungkin kita sebagai seorang hamba menempuh jalan lain dari jalan Allah, agar kita bisa sampai kepada Allah?. Hal ini jelas merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak Allah, karena kita telah membuat syari'at baru pada agama-Nya yang tidak ada perintah dari-Nya. Dan ini pun termasuk bentuk pendustaan terhadap firman Allah ta'ala :

"Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku-ridha'i islam itu jadi agama bagimu". Q.S; Al-Maidah : 3.

Maka kita perjelas lagi, jika sekiranya acara peringatan maulid Nabi r termasuk bagian dari kesempurnaan dien (agama), niscaya ia telah dirayakan sebelum Rasulullah r meninggal dunia. Dan jika ia bukan bagian dari kesempurnaan dien (agama), maka berarti ia bukan dari ajaran agama, karena Allah ta'ala berfirman: "Pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu".

Maka barang siapa yang menganggap bahwa ia termasuk bagian dari kesempurnaan dien (agama), berarti ia telah membuat perkara baru dalam agama (bid'ah) sesudah wafatnya Rasulullah r, dan pada perkataannya terkandung pendustaan terhadap ayat Allah yang mulia ini (Q.S; Al-Maidah : 3) .

Maka tidak diragukan lagi, bahwa orang-orang yang mengadakan acara peringatan maulid Nabi r, pada hakekatnya bertujuan untuk memuliakan (mengagungkan) dan mengungkapkan kecintaan terhadap Rasulullah SAW, serta menumbuhkan ghirah (semangat) dalam beribadah yang di peroleh dari acara peringatan maulid Nabi tersebut. Dan ini semua termasuk dari ibadah. Cinta kepada Rasulullah r termasuk ibadah, dimana keimanan seseorang tidaklah sempurna hingga ia mencintai Nabi r melebihi kecintaannya terhadap dirinya sendiri, anak-anaknya, orang tuanya dan seluruh manusia. Demikian pula bahwa memuliakan (mengagungkan) Rasulullah r termasuk dari ibadah. Dan juga yang termasuk kedalam kategori ibadah adalah menumbuhkan ghirah (semangat) dalam mengamalkan syari'at Nabinya r.

Kesimpulannya adalah bahwa mengadakan peringatan maulid Nabi r dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah ta'ala, dan pengagungan terhadap Rasulullah r termasuk dari ibadah. Jika ia termasuk ibadah maka kita tidak diperbolehkan untuk mengadakan perkara baru pada agama Allah (bid'ah) yang bukan syari'at-Nya. Oleh karena itu peringatan maulid Nabi r termasuk bid'ah dalam agama dan termasuk yang diharamkan.

Kemudian kita mendengar informasi bahwasannya pada acara peringatan maulid Nabi r terdapat kemunkaran-kemunkaran yang besar, yang tidak dibenarkan syar'i, indera maupun akal. Dimana mereka mensenandungkan qashidah yang didalamnya mengandung pengkultusan terhadap Nabi r, hingga terjadi pengagungan yang melebihi pengagungannya kepada Allah ta'ala –kita berlindung kepada Allah dari hal ini-.

Dan juga kita mendengar informasi tentang kebodohan sebagian orang yang mengikuti acara peringatan maulid Nabi tersebut , dimana ketika dibacakan kisah maulid (kelahiran) beliau, lalu ketika sampai pada perkataan (dan lahirlah Musthafa r), maka mereka semua serentak berdiri. Mereka mengatakan bahwa ruh Rasulullah r telah datang, maka kami berdiri sebagai penghormatan terhadap kedatangan ruhnya. Dan ini jelas suatu kebodohan.

Dan bukan merupakan adab bila mereka berdiri untuk menghormati kedatangan ruh Nabi r, karena Rasulullah r merasa enggan (tidak senang) apabila ada sahabat yang berdiri untuk menghormatinya. Padahal kecintaan dan pengagungan para sahabat terhadap Rasulullah r melebihi yang lainnya, akan tetapi mereka tidak berdiri untuk memuliakan dan mengagungkannya, ketika mereka melihat keengganan Rasulullah r dengan perbuatan tersebut. Jika hal ini tidak mereka lakukan pada saat Rasulullah r masih hidup, lalu bagaimana hal tersebut bisa dilakukan oleh manusia setelah beliau meninggal dunia?.

Bid'ah ini, maksudnya adalah bid'ah maulid, terjadi setelah berlalunya 3 (tiga) kurun waktu yang terbaik (masa sahabat, tabi'in dan tabi'ut tabi'in). sesungguhnya Peringatan maulid Nabi r telah menodai kesucian aqidah dan juga mengundang terjadinya ikhtilath (bercampur-baurnya antara laki-laki dan wanita) serta menimbulkan perkara-perkara munkar yang lainnya. (Rujukan: Majmu' Fatawa dan Rasail Syaikh Muhammad bin Shaleh Al 'Utsaimin rahimahullah jilid 2 hal 298-300. http://www.islamhouse.com/p/72553 )

Pendapat lain, Khalid bin Su'ud al-Bulaihid Ada kelompok dari kaum muslimin yang melakukan perayaan maulid Nabi  pada hari kedua belas, bulan Rabiulawal, setiap tahun hijriah. Diselenggarakan dengan berbagai macam upacara dan ritual. Tujuan dari semua itu adalah mempertunjukkan kegembiraan, kebahagiaan, rasa syukur dan rasa cinta kepada Rasulullah  dengan memperingati hari kelahirannya. Apakah perbuatan ini benar, berkesesuaian dengan syariat dan pelakunya mendapat pahala?!
Kepada pembela dan pendukung perayaan maulid saya tujukan risalah ini, dari hati yang penuh kasih dan nasihat untuk mengantarkan kebenaran, membela sunah Nabi  dan mengamalkan sabdanya,
الدِّينُ النَّصِيحَةُ
"Agama adalah nasihat."
Kami (para sahabat) bertanya, "Untuk siapa wahai Rasulullah?"
لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ
"Untuk Allah, kitab-Nya, rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin dan seluruh ummatnya." [Hadits Mutafak alaih]
Saya ringkas dialog saya ini dalam poin-poin berikut:
Pertama: awal kali saya katakan kepada mereka bahwa seluruh kaum muslimin mencintai Nabi , tidak ada seorangpun yang menyelisihi hal ini. Mencintai Nabi adalah fardu (wajib) bagi kaum muslimin, bahkan ia merupakan pokok dari pokok keimanan. Tidak sah iman seorang hamba kecuali dengannya.
Rasulullah  bersabda,
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
"Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga aku lebih dicintainya dari pada anaknya, orang tuanya dan semua orang." [Mutafak Alaih]
Akan tetapi kaum muslimin berbeda dalam mengekspresikan dan menampakkan kecintaan ini dalam pengejawantahannya.
Dengan demikian kita sepakat atas wajibnya mencintai Nabi .

Kedua: saya tanyakan kepada mereka: apa pengertian cinta kepada Nabi ? Apakah kecintaan itu hanya semata perasaan, hubungan hati dan emosional atau amalan hati yang disertai praktek amal?!
Tidak diragukan jika asal kecintaan ada di dalam hati, akan tetapi kecintaan memiliki konsekuensi dan buah. Cinta sempurna dan lengkap ketika tergabung perasaan hati, pengucapan lisan dan realisasi anggota tubuh. Ia juga mengharuskan pembenaran apa yang dikabarkan, menjalankan perintah dan menjauhi larangannya.
Allah  berfirman,
     •      
"Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Q.S.Ali Imran:31)
Rasulullah  bersabda,
كُلُّ أُمَّتِى يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ ، إِلاَّ مَنْ أَبَى » . قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ يَأْبَى قَالَ « مَنْ أَطَاعَنِى دَخَلَ الْجَنَّةَ ، وَمَنْ عَصَانِى فَقَدْ أَبَى
"Setiap umatku masuk surga, kecuali yang enggan."
Ada yang bertanya:
"Siapa mereka yang enggan itu wahai Rasulullah?"
"Siapa yang menaatiku masuk surga dan siapa yang menyelisihiku maka sungguh dia telah enggan." [Hadits riwayat al-Bukhari]
Siapa yang mencintai hendaknya memperbanyak mengingat, menaati dan berusaha tidak menyelisihinya.
Bila demikian, kecintaan bukanlah sekadar klaim, simbolis, sorak-sorai, akan tetapi kehidupan, metode dan praktek nyata. Amat disayangkan, kebanyakan kaum muslimin membayangkan bahwa kecintaan kepada Nabi  hanya cukup dengan memuja dan memujinya. Oleh karenanya kita dapat melihat kehidupan mereka begitu jauh dari petunjuk, manhaj (metode beragama), ucapan dan perbuatan Nabi . Kebanyakan mereka menyelisihi Nabi  dalam kebanyakan sunahnya. Jika tiba momen keagamaan, mereka mengadakan perayaan untuk mempertontonkan kecintaan. Bersamaan dengan usainya perayaan itu, mereka kembali kepada kondisi mereka semula dari kesesatan. Tidak diragukan bahwa kecintaan hampa ini adalah kecintaan yang cacat dan bisa jadi batal.

Ketiga: jika kita tanya kepada mereka: apa hakikat perayaan maulid Nabi ?
Mereka akan menjawab: ini hanyalah murni tradisi seperti perayaan-perayaan duniawi yang lain, tidak ada hubungannya dengan agama dan hukum asalnya adalah boleh. Dibolehkan bagi setiap muslim melakukan perayaan kelahiran Nabi  sebagaimana perayaan duniawi lain ketika mendapat pekerjaan atau mendapat kenikmatan; seperti dianugerahi anak dan lain sebagainya.
Perkataan mereka ini sesungguhnya adalah salah besar, menipu diri sendiri, tidak filosofis dan tidak masuk akal.
Setiap orang, meskipun dia buta huruf, pertama kali akan memahami bahwa perayaan tersebut adalah perayaan agama. Siapapun yang merenungkan perayaan ini akan yakin bahwa ia dilaksanakan atas dasar kecintaan kepada Nabi , dengan tujuan terbesar mendekatkan diri kepada Allah dan menjadikannya sebagai wasilah untuk membersihkan diri dan memurnikannya. Di dalamnya terdapat zikir dan ritual doa.
Dengan demikian jelaslah bahwa perayaan maulid adalah ibadah dan bentuk taqarub (mendekatkan diri) yang dilakukan pelakunya untuk mendekatkan diri kepada Allah dan menjadikannya sebagai salah satu dari syiar agama. Karena itulah mereka konsisten melakukannya, menganjurkan yang lain untuk terlibat dan mengingkari siapa yang meninggalkannya dan menuduhnya dengan buruk perangai.
Jika ditetapkan sebagai ibadah, maka ibadah itu haruslah memenuhi sarat yang mengesahkannya, jika tidak, ibadah itu menjadi batil dan tidak ada dasarnya.
Keempat: jika kita tanya mereka: apakah ada dalil syariat yang menunjukkan pensyariatan dan pembolehan perayaan maulid nabi?! Tentu mereka akan mengatakan ada dan mereka akan menyebutkan sejumlah dalil. Akan tetapi jika kita kaji dalil-dalil yang mereka gunakan, maka dalil-dalil tersebut tidak lepas dari dua keadaan:
1. dalil khusus yang lemah lagi maudhu (palsu).
2. dalil umum yang sahih tetapi tidak menunjukkan apa yang didalili dari sisi manapun. Seperti pendalilan mereka dengan hadits yang diriwayatkan di dalam Sahih Muslim, bahwa ketika Nabi  ditanya mengenai puasa hari senin beliau  menjawab,
فِيْهِ وُلِدْتُ وِفِيْهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ
"Pada hari itulah aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku."
Demikian pula pendalilan mereka dengan keutamaan hari Jumat dan istihbab (disukainya) salawat kepada Nabi serta pendalilan dengan keutamaan Nabi . Dalil-dalil tersebut –segala puji bagi Allah- tidak sama sekali menunjukkan akan pensyariatan maulid Nabi, ia hanya menunjukkan atas dua hal:
1. hanya menunjukkan keutamaan hari-hari tersebut saja, tidak yang lainnya.
2. bentuk ibadah yang disyariatkan hanya yang disebutkan saja seperti puasa, zikir dan shalat. Perayaan maulid tidak terdapat di dalamnya.
Kita meminta mereka membuktikan (dengan dalil) dua perkara, dan mereka tidak akan dapat membuktikannya sampai hari kiamat:
1. pengkhususan perayaan hari kelahiran Nabi  saja dan tidak hari-hari yang lain.
2. pensyariatan melangsungkan perayaan maulid nabi dengan cara khusus yang mereka lakukan.
Ibadah tidak boleh dibangun di atas hukum Qias dan pandangan yang kosong dari dalil; seperti ucapan mereka bahwa perayaan ini masuk pada jenis menampakkan rasa syukur atau menampakkan kebahagiaan yang wajib. Atau dari jenis pengagungan kepada Rasulullah  yang disyariatkan.
Sehingga ia merupakan istihsan (anggapan baik) dan qiyas (penyerupaan kasus) yang menyelisihi dalil dan usul syariat. Karena ibadah adalah tauqifiah (baku), penetapan dan beribadah dengannya haruslah setelah adanya ketetapan dalil syariat khusus yang pasti.
Dengan demikian jelaslah bahwa pemimpin-pemimpin mereka mengabaikan akal dan pemahaman manusia, mengelabui mereka dengan nama cinta Nabi .

Kelima: jika kita tanya kepada mereka: adakah nabi  merayakan hari kelahirannya atau salah seorang dari khalifahnya (para pemimpin kaum muslimin setelah wafatnya Nabi) atau para sahabatnya, para tabiin dan tabiut tabiin atau imam mazhab yang empat atau salah seorang dari tiga generasi pertama? carilah jawabannya!!
Yang benar, yang tidak ada keraguan di dalamnya adalah bahwa perayaan maulid tidak dikenal di awal keislaman, tidak pula pada masa tiga generasi utama. Perayaan itu dimunculkan oleh sekte Fatimiyah Batiniyah yang Zindik (yang berkuasa) pada akhir kurun keempat di Mesir, kemudian diikuti oleh toriqoh-toriqoh sufi. Karenanya kita katakan kepada mereka:
1. apakah kalian merasa lebih mencintai Rasulullah  dibanding para sahabat nabi (di zamannya) atau kalian ragu akan kecintaan mereka.
2. apakah jalan dan amalan kalian lebih baik dari jalan dan amalan para sahabat Nabi. Jika itu luput dari manusia-manusia utama itu dan kalian yang menemukannya, tentu tidak ada kebaikan pada amalan yang luput dari mereka. Jika mereka mengetahuinya tetapi meninggalkannya, maka tidak ada kebaikan pada apa-apa yang ditinggalkan salafussoleh, karena mereka adalah umat yang terbaik, paling utama jalannya dan paling suci amalannya.
Dengan demikian jelaslah bahwa maulid nabi adalah amalan susupan yang tidak ada nasabnya dari Islam, bahkan ia menyerupai upacara umat agama yang menyelisihi Islam seperti Yahudi dan Nasrani terhadap pembesar-pembesar mereka. Sama sekali tidak terdapat di dalam syariat Islam. Pelaksanaan perayaan kelahiran seseorang atau kematiannya adalah istiadat yang menyusup, bukan dari kaum muslimin.
Keenam: jika kita tanya mereka tentang acara maulid nabi dan apa yang dilakukan ketika itu, mereka akan mengatakan hanya sekadar zikir, memuji nabi, membaca sirohnya (riwayat perjalanan hidupnya) dan amal-amal mustahabah (disukai) yang lain.
Tetapi pada prakteknya di setiap perayaan maulid nabi tidak luput dari penyimpangan, bid'ah dan praktek kesyirikan. Setiap perayaan perbedaannya hanya pada kadar penyimpangannya, sedikit atau lebih banyak.
Di antaranya:
1. zikir berjamaah (bersama) dengan hai'ah (gerakan) yang tidak disyariatkan.
2. berlebihan dalam memuji Nabi , padahal beliau telah melarang hal itu.
3. mengangkat Nabi melebihi kedudukannya dan menyifatinya dengan sifat ketuhanan, seperti pengetahuannya mengenai perkara gaib dan kesertaan dalam pengaturan alam.
4. melakukan ibadah dan wasilah-wasilah syirik seperti istighasah kepada Nabi dan para wali. Meminta kepada mereka dikabulkan hajat-hajatnya dan diberi kebaikan.
5. melakukan perbuatan sia-sia dan tarian.
6. mendengarkan ma'azif musiki (permainan musik) dan sibuk dengan permainan.
7. ikhtilat (campur baurnya lelaki dan perempuan) dan hadirnya remaja-remaja belia berparas menarik.
8. klaim dan prasangka hadirnya nabi  pada acara perayaan maulid.
9. hadirin di acara itu mengalami isyk (tergila-gila), suka cita, fana dan keadaan kesetanan lainnya.
Maksudnya adalah bahwa semua amalan yang dibangun di atas kebatilan adalah batil dan jalan menuju setan, menjauhkan dari Tuhan, ar-Rahman dan menyuburkan setiap bid'ah dan maksiat. -Allahu musta'an (Allah Maha penolong).

Ketujuh: kita tanya mereka: apakah makna bid'ah dan apa hakikat perbuatan bid'ah? Dan dapatkah menafsirkan sabda Nabi ,
وَمَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
"Siapa yang mengerjakan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka perbuatan itu tertolak." [Mutafak Alaih]
Mereka pastinya akan menjawab dengan jawaban yang mencampurkan antara kebenaran dengan kebatilan, menipu, menyimpangkan nas-nas dan merubah makna.
Mereka akan mengatakan bahwa bid'ah ada dua, bid'ah hasanah (bid'ah yang baik) dan bid'ah sayyiah (bid'ah yang buruk)...dan seterusnya.
Makna berbuat bid'ah adalah: mengadakan/menciptakan cara atau amal atau ibadah yang dijadikan wasilah mendekatkan diri kepada Allah dalam agama yang tidak memiliki asal dari syariat.
Setiap yang beribadah kepada Allah dengan amalan atau ibadah yang syariat tidak menunjukkannya, tidak bersandar kepada dalil atau ijma (konsensus) maka telah berbuat bid'ah dalam agama, pelakunya berdosa dan amalannya tertolak, tidak diterima sama sekali. Berarti telah menyakiti rasul dan mengikuti jalan selain orang beriman. Dalam agama tidak ada bid'ah hasanah.
Tidak diragukan lagi bahwa maulid Nabi  terlaku atasnya sifat bid'ah karena adanya dua illah (cacat):
1. dia adalah amalan agama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah.
2. tidak ada asalnya dari syariat.
Kita katakan kepada mereka bahwa dengan kalian menciptakan acara maulid nabi, secara tidak langsung menunjukkan perasaan kalian bahwa agama ini kurang, butuh dilengkapi dan disempurnakan. Padahal Allah  telah berfirman,
          
"Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu." (Q.S.al-Maidah:3)
Amalan tersebut juga membuka pintu kerusakan yang besar dimana semua momen yang dianggap baik dibuatkan perayaannya. Tentu ini mempermainkan agama Allah, sebagaimana yang telah dilakukan kaum syi'ah dan selain mereka.

Kedelapan: ketika kami tanyakan kepada kebanyakan orang-orang awam yang melaksanakan dan turut serta dalam perayaan maulid, apa yang menjadi sandaran kalian dalam melakukan perayaan ini, mereka menjawab: "Bagi kami mengikuti perbuatan syaikh/kiyai dan para wali. Kami meneladani mereka."
Kita katakan kepada mereka: perbuatan seseorang tidak bisa dijadikan hujjah (alasan), sekalipun mereka itu syaikh/kiayi jika perbuatannya menyelisihi syariat. Yang menjadi hujjah adalah al-Quran, sunah dan apa-apa yang telah disepakati oleh salaful ummah (generasi awal umat ini). Tidak ada seorang manusiapun yang selamat dari kesalahan. Bagaimana kemudian mengikuti mereka yang tidak diketahui kekuatan ilmu dan keteladanannya kepada manhaj salafussoleh (metode generasi awal). Allah  berfirman,
          
"Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah." (QS.al-An'am:116)
Bagaimana kalian mendahulukan ketaatan kepada para syaikh/kiayi dari pada kepada Allah dan rasul-Nya serta para imam seperti: Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, Ahmad dan ulama lain yang dikenal keilmuan, amal, zuhud, dan ibadahnya. Sedangkan toriqot-toriqot sufi yang baru itu telah menyakiti Islam dengan tampilan menariknya.
Aku tanya kalian: apakah dalam Islam, agama yang agung ini terdapat dansa dan kesia-siaan di dalamnya.
Apakah Nabi  dan para sahabatnya berdansa, menari dan bernyanyi sebagaimana dilakukan oleh para tukang kelakar dan kefasikan.
Sudah datang waktunya bagi kalian wahai awam muslimin untuk membebaskan akal kalian dari kurafat-kurafat dan senda-gurau yang diwajibkan kepada kalian oleh mereka yang mengklaim mencintai dan membela nabi.
Telah datang waktunya bagi kalian untuk membebaskan diri dari tali belenggu syaikh/kiai toriqot sufiah dan menjadi orang merdeka dalam menyembah/beribadah kepada Allah sesuai petunjuk.
Telah usai zaman kejumudan dan takhaluful fikri (irasional) yang menimpa dunia Islam dalam pertengahan sejarahnya, dimana sunah dan meneladani Nabi  melemah sehingga menyebar kebodohan, bid'ah dan khurafat. Kini tiba –Alhamdulillah- zaman ittiba (meneladani Nabi) dan hujjah (bukti/dalil), mencari kebenaran, menyebarnya sunah dan ketaatan.
Pada akhirnya, wahai mereka yang mencintai Nabi  dan berupaya untuk menempuh jalan itu, aku iba kepadamu dan mengingatkanmu; jangan sampai datang pada hari kiamat dan tiba di telaga Nabi  untuk minum tetapi engkau diusir dari telaga itu, dan beliau justru menuntutmu atas perubahan dan pergantian yang engkau lakukan dalam agamamu.
Al-Bukhari meriwayatkan dari Sahl bin Sa'ad, bahwa Nabi  bersabda,
لَيَرِدَنَّ عَلَىَّ أَقْوَامٌ أَعْرِفُهُمْ وَيَعْرِفُونِى ، ثُمَّ يُحَالُ بَيْنِى وَبَيْنَهُمْ
"Sungguh didatangkan kepadaku kaum yang aku ketahui dan mereka mengetahuiku, kemudian diberi pembatas antara aku dengan mereka."
Abu Hazim berkata, " An-Nu'man bin Abi 'Iyasy mendengar hadits yang aku riwayatkan dan dia bertanya:
"Demikiankah yang dikatakan oleh Sahl?!"
"Ya." Jawab Abu Hazim.
Abu Hazim berkata, "Aku bersumpah mendengar Abu Sa'id al-Khudri menambahkan riwayat hadits itu: Nabi berkata,
فَأَقُولُ إِنَّهُمْ مِنِّى
"Dan aku katakan (kepada malaikat), 'Mereka adalah ummatku!'."
Malaikat menjawab:
"Sesungguhnya engkau tidak tahu apa yang mereka buat setelah kematianmu."
Nabi  berkata,
فَأَقُولُ سُحْقًا سُحْقًا لِمَنْ غَيَّرَ بَعْدِى
"Maka akupun mengatakan: jauh-jauh bagi siapa yang merubah ajaranku setelah (kematian)ku."
Wallahu A'lam.

Ada pun Pendapat yang pro berpendapat ; Pada bulan Rabiul Awwal ini kita menyaksikan di belahan dunia islam, kaum muslimin merayakan Maulid, Kelahiran Nabi Muhammad Saw dengan cara dan adat yang mungkin beraneka ragam dan berbeda-beda. Tetapi tetap pada satu tujuan, yaitu memperingati kelahiran Nabi mereka dan menunjukkan rasa suka cita dan bergembira dengan kelahiran beliau Saw. Tak terkecuali di negara kita Indonesia, di kota maupun di desa masyarakat begitu antusias melakukan perayaan tersebut.

Demikian pemandangan yang kita saksikan setiap datang bulan Rabiul awwal.
Telah ratusan tahun kaum muslimin merayakan maulid Nabi Saw, Insan yang paling mereka cintai. Tetapi hingga kini masih ada saja orang yang menolaknya dengan berbagai hujjah. Diantaranya mereka mengatakan, orang-orang yang mengadakan peringatan Maulid Nabi menjadikannya sebagai ‘Id (Hari Raya) yang syar’i, seperti ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha. Padahal, peringatan itu, menurut mereka, bukanlah sesuatu yang berasal dari ajaran agama. Benarkah demikian? Apakah yang mereka katakan itu sesuai dengan prinsip-prinsip agama, ataukah justru sebaliknya?

Di antara ulama kenamaan di dunia yang banyak menjawab persoalan-persoalan seperti itu, yang banyak dituduhkan kepada kaum Ahlussunnah wal Jama’ah, adalah As Sayyid Al Muhaddits Al Imam Muhammad bin Alawi Al Maliki. Berikut ini kami nukilkan uraian dan ulasan beliau mengenai hal tersebut sebagaimana termaktub dalam kitab beliau Dzikrayat wa Munasabat dan Haul al Ihtifal bi Dzikra Maulid An Nabawi Asy Syarif.

Hari Maulid Nabi SAW lebih besar, lebih agung, dan lebih mulia daripada ‘Id. ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha hanya berlangsung sekali dalam setahun, sedangkan peringatan Maulid Nabi SAW, mengingat beliau dan sirahnya, harus berlangsung terus, tidak terkait dengan waktu dan tempat.

Hari kelahiran beliau lebih agung daripada ‘Id, meskipun kita tidak menamainya ‘Id. Mengapa? Karena beliaulah yang membawa ‘Id dan berbagai kegembiraan yang ada di dalamnya. Karena beliau pula, kita memiliki hari-hari lain yang agung dalam Islam. Jika tidak ada kelahiran beliau, tidak ada bi’tsah (dibangkitkannya beliau sebagai rasul), Nuzulul Quran (turunnya AI-Quran), Isra Mi’raj, hijrah, kemenangan dalam Perang Badar, dan Fath Makkah (Penaklukan Makkah), karena semua itu berhubungan dengan beliau dan dengan kelahiran beliau, yang merupakan sumber dari kebaikan-kebaikan yang besar.

Banyak dalil yang menunjukkan bolehnya memperingati Maulid yang mulia ini dan berkumpul dalam acara tersebut, di antaranya yang disebutkan oleh Prof. DR. As Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki. Sebelum mengemukakan dalil-dalil tersebut, beliau menjelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan peringatan Maulid.

Pertama, kita memperingati Maulid Nabi SAW bukan hanya tepat pada hari kelahirannya, melainkan selalu dan selamanya, di setiap waktu dan setiap kesempatan ketika kita mendapatkan kegembiraan, terlebih lagi pada bulan kelahiran beliau, yaitu Rabi’ul Awwal, dan pada hari kelahiran beliau, hari Senin. Tidak layak seorang yang berakal bertanya, “Mengapa kalian memperingatinya?” Karena, seolah-olah ia bertanya, “Mengapa kalian bergembira dengan adanya Nabi SAW?”.
Apakah sah bila pertanyaan ini timbul dari seorang muslim yang mengakui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu utusan Allah? Pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang bodoh dan tidak membutuhkan jawaban. Seandainya pun saya, misalnya, harus menjawab, cukuplah saya menjawabnya demikian, “Saya memperingatinya karena saya gembira dan bahagia dengan beliau, saya gembira dengan beliau karena saya mencintainya, dan saya mencintainya karena saya seorang mukmin”.

Kedua, yang kita maksud dengan peringatan Maulid adalah berkumpul untuk mendengarkan sirah beliau dan mendengarkan pujian-pujian tentang diri beliau, juga memberi makan orangorang yang hadir, memuliakan orangorang fakir dan orang-orang yang membutuhkan, serta menggembirakan hati orang-orang yang mencintai beliau.

Ketiga, kita tidak mengatakan bahwa peringatan Maulid itu dilakukan pada malam tertentu dan dengan cara tertentu yang dinyatakan oleh nash-nash syariat secara jelas, sebagaimana halnya shalat, puasa, dan ibadah yang lain. Tidak demikian. Peringatan Maulid tidak seperti shalat, puasa, dan ibadah. Tetapi juga tidak ada dalil yang melarang peringatan ini, karena berkumpul untuk mengingat Allah dan Rasul-Nya serta hal-hal lain yang baik adalah sesuatu yang harus diberi perhatian semampu kita, terutama pada bulan Maulid.

Keempat, berkumpulnya orang untuk memperingati acara ini adalah sarana terbesar untuk dakwah, dan merupakan kesempatan yang sangat berharga yang tak boleh dilewatkan. Bahkan, para dai dan ulama wajib mengingatkan umat tentang Nabi, baik akhlaqnya, hal ihwalnya, sirahnya, muamalahnya, maupun ibadahnya, di samping menasihati mereka menuju kebaikan dan kebahagiaan serta memperingatkan mereka dari bala, bid’ah, keburukan, dan fitnah.

Yang pertama merayakan Maulid Nabi SAW adalah shahibul Maulid sendiri, yaitu Nabi SAW, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih yang diriwayatkan Muslim bahwa, ketika ditanya mengapa berpuasa di hari Senin, beliau menjawab, “Itu adalah hari kelahiranku.” Ini nash yang paling nyata yang menunjukkan bahwa memperingati Maulid Nabi adalah sesuatu yang dibolehkan syara’.

Dalil-dalil Maulid

Banyak dalil yang bisa kita jadikan sebagai dasar diperbolehkannya memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW .

Pertama, peringatan Maulid Nabi SAW adalah ungkapan kegembiraan dan kesenangan dengan beliau. Bahkan orang kafir saja mendapatkan manfaat dengan kegembiraan itu (Ketika Tsuwaibah, budak perempuan Abu Lahab, paman Nabi, menyampaikan berita gembira tentang kelahiran sang Cahaya Alam Semesta itu, Abu Lahab pun memerdekakannya. Sebagai tanda suka cita. Dan karena kegembiraannya, kelak di alam baqa’ siksa atas dirinya diringankan setiap hari Senin tiba. Demikianlah rahmat Allah terhadap siapa pun yang bergembira atas kelahiran Nabi, termasuk juga terhadap orang kafir sekalipun. Maka jika kepada seorang yang kafir pun Allah merahmati, karena kegembiraannya atas kelahiran sang Nabi, bagaimanakah kiranya anugerah Allah bagi umatnya, yang iman selalu ada di hatinya?)

Kedua, beliau sendiri mengagungkan hari kelahirannya dan bersyukur kepada Allah pada hari itu atas nikmatNya yang terbesar kepadanya.

Ketiga, gembira dengan Rasulullah SAW adalah perintah AI-Quran. Allah SWT berfirman, “Katakanlah, ‘Dengan karunia Allah dan rahmatNya, hendaklah dengan itu mereka bergembira’.” (QS Yunus: 58). Jadi, Allah SWT menyuruh kita untuk bergembira dengan rahmat-Nya, sedangkan Nabi SAW merupakan rahmat yang terbesar, sebagaimana tersebut dalam Al-Quran, “Dan tidaklah Kami mengutusmu melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam.” (QS Al-Anbiya’: 107).

Keempat, Nabi SAW memperhatikan kaitan antara waktu dan kejadian-kejadian keagamaan yang besar yang telah lewat. Apabila datang waktu ketika peristiwa itu terjadi, itu merupakan kesempatan untuk mengingatnya dan mengagungkan harinya.

Kelima, peringatan Maulid Nabi SAW mendorong orang untuk membaca shalawat, dan shalawat itu diperintahkan oleh Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat atas Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuknya dan ucapkanlah salam sejahtera kepadanya.” (QS Al-Ahzab: 56).
Apa saja yang mendorong orang untuk melakukan sesuatu yang dituntut oleh syara’, berarti hal itu juga dituntut oleh syara’. Berapa banyak manfaat dan anugerah yang diperoleh dengan membacakan salam kepadanya.

Keenam, dalam peringatan Maulid disebut tentang kelahiran beliau, mukjizat-mukjizatnya, sirahnya, dan pengenalan tentang pribadi beliau. Bukankah kita diperintahkan untuk mengenalnya serta dituntut untuk meneladaninya, mengikuti perbuatannya, dan mengimani mukjizatnya. Kitab-kitab Maulid menyampaikan semuanya dengan lengkap.

Ketujuh, peringatan Maulid merupakan ungkapan membalas jasa beliau dengan menunaikan sebagian kewajiban kita kepada beliau dengan menjelaskan sifat-sifatnya yang sempurna dan akhlaqnya yang utama.
Dulu, di masa Nabi, para penyair datang kepada beliau melantunkan qashidah-qashidah yang memujinya. Nabi ridha (senang) dengan apa yang mereka lakukan dan memberikan balasan kepada mereka dengan kebaikan-kebaikan. Jika beliau ridha dengan orang yang memujinya, bagaimana beliau tidak ridha dengan orang yang mengumpulkan keterangan tentang perangai-perangai beliau yang mulia. Hal itu juga mendekatkan diri kita kepada beliau, yakni dengan manarik kecintaannya dan keridhaannya.

Kedelapan, mengenal perangai beliau, mukjizat-mukjizatnya, dan irhash-nya (kejadian-kejadian luar biasa yang Allah berikan pada diri seorang rasul sebelum diangkat menjadi rasul), menimbulkan iman yang sempurna kepadanya dan menambah kecintaan terhadapnya.
Manusia itu diciptakan menyukai hal-hal yang indah, balk fisik (tubuh) maupun akhlaq, ilmu maupun amal, keadaan maupun keyakinan. Dalam hal ini tidak ada yang lebih indah, lebih sempurna, dan lebih utama dibandingkan akhlaq dan perangai Nabi. Menambah kecintaan dan menyempurnakan iman adalah dua hal yang dituntut oleh syara’. Maka, apa saja yang memunculkannya juga merupakan tuntutan agama.

Kesembilan, mengagungkan Nabi SAW itu disyariatkan. Dan bahagia dengan hari kelahiran beliau dengan menampakkan kegembiraan, membuat jamuan, berkumpul untuk mengingat beliau, serta memuliakan orang-orang fakir, adalah tampilan pengagungan, kegembiraan, dan rasa syukur yang paling nyata.

Kesepuluh, dalam ucapan Nabi SAW tentang keutamaan hari Jum’at, disebutkan bahwa salah satu di antaranya adalah, “Pada hari itu Adam diciptakan:” Hal itu menunjukkan dimuliakannya waktu ketika seorang nabi dilahirkan. Maka bagaimana dengan hari di lahirkannya nabi yang paling utama dan rasul yang paling mulla?

Kesebelas, peringatan Maulid adalah perkara yang dipandang bagus oleh para ulama dan kaum muslimin di semua negeri dan telah dilakukan di semua tempat. Karena itu, ia dituntut oleh syara’, berdasarkan qaidah yang diambil dari hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Mas’ud, “Apa yang dipandang balk oleh kaum muslimin, ia pun balk di sisi Allah; dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin, ia pun buruk di sisi Allah.”

Kedua belas, dalam peringatan Maulid tercakup berkumpulnya umat, dzikir, sedekah, dan pengagungan kepada Nabi SAW. Semua itu hal-hal yang dituntut oleh syara’ dan terpuji.

Ketiga belas, Allah SWT berfirman, “Dan semua kisah dari rasul-rasul, Kami
ceritakan kepadamu, yang dengannya Kami teguhkan hatimu:’ (QS Hud: 120). Dari ayat ini nyatalah bahwa hikmah dikisahkannya para rasul adalah untuk meneguhkan hati Nabi. Tidak diragukan lagi bahwa saat ini kita pun butuh untuk meneguhkan hati kita dengan berita-berita tentang beliau, lebih dari kebutuhan beliau akan kisah para nabi sebelumnya.

Keempat belas, tidak semua yang tidak pernah dilakukan para salaf dan tidak ada di awal Islam berarti bid’ah yang munkar dan buruk, yang haram untuk dilakukan dan wajib untuk ditentang. Melainkan apa yang “baru” itu (yang belum pernah dilakukan) harus dinilai berdasarkan dalii-dalil syara’.

Kelima belas, tidak semua bid’ah itu diharamkan. Jika haram, niscaya haramlah pengumpulan Al-Quran, yang dilakukan Abu Bakar, Umar, dan Zaid, dan penulisannya di mushaf-mushaf karena khawatir hilang dengan wafatnya para sahabat yang hafal Al-Quran. Haram pula apa yang dilakukan Umar ketika mengumpulkan orang untuk mengikuti seorang imam ketika melakukan shalat Tarawih, padahal ia mengatakan, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” Banyak lagi perbuatan baik yang sangat dibutuhkan umat akan dikatakan bid’ah yang haram apabila semua bid’ah itu diharamkan.

Keenam belas, peringatan Maulid Nabi, meskipun tidak ada di zaman Rasulullah SAW, sehingga merupakan bid’ah, adalah bid’ah hasanah (bid’ah yang balk), karena ia tercakup di dalam dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah kulliyyah (yang bersifat global).
Jadi, peringatan Maulid itu bid’ah jika kita hanya memandang bentuknya, bukan perinaan-perinaan amalan yang terdapat di dalamnya (sebagaimana terdapat dalam dalil kedua belas), karena amalan-amalan itu juga ada di masa Nabi.

Ketujuh belas, semua yang tidak ada pada awal masa Islam dalam bentuknya tetapi perincian-perincian amalnya ada, juga dituntut oleh syara’. Karena, apa yang tersusun dari hal-hal yang berasal dari syara’, pun dituntut oleh syara’.

Kedelapan belas, Imam Asy-Syafi’i mengatakan, “Apa-apa yang baru (yang belum ada atau dilakukan di masa Nabi SAW) dan bertentangan dengan Kitabullah, sunnah, ijmak, atau sumber lain yang dijadikan pegangan, adalah bid’ah yang sesat. Adapun suatu kebaikan yang baru dan tidak bertentangan dengan yang tersebut itu, adalah terpuji ”

Kesembilan belas, setiap kebaikan yang tercakup dalam dalil-dalil syar’i dan tidak dimaksudkan untuk menyalahi syariat dan tidak pula mengandung suatu kemunkaran, itu termasuk ajaran agama.

Keduapuluh, memperingati Maulid Nabi SAW berarti menghidupkan ingatan (kenangan) tentang Rasulullah, dan itu menurut kita disyariatkan dalam Islam. Sebagaimana yang Anda lihat, sebagian besar amaliah haji pun menghidupkan ingatan tentang peristiwa-peristiwa terpuji yang telah lalu.

Kedua puluh satu, semua yang disebutkan sebelumnya tentang dibolehkannya secara syariat peringatan Maulid Nab! SAW hanyalah pada peringatan-peringatan yang tidak disertai perbuatan-perbuatan munkar yang tercela, yang wajib ditentang.

Adapun jika peringatan Maulid mengandung hal-hal yang disertai sesuatu yang wajib diingkari, seperti bercampurnya laki-laki dan perempuan, dilakukannya perbuatanperbuatan yang terlarang, dan banyaknya pemborosan dan perbuatan-perbuatan lain yang tidak diridhai Shahibul Maulid, tak diragukan lagi bahwa itu diharamkan. Tetapi keharamannya itu bukan pada peringatan Maulidnya itu sendiri, melainkan pada hal-hal yang terlarang tersebut.(Sumber : http://www.madinatulilmi.com/?prm=posting&kat=1&var=detail&id=327)

Bagaimana Di Indonesia? dari dua paham tersebut diatas memberikan gambaran kepada kita semua tentang ukuran, tingkatan ketauhidan kita dimana berpijak, tentu oleh karena itu kita harus bijak kemana mengambil langkah akan kita dalam kehidupan beribadah kita kepada Allah SWT. Jujungan kita Nabi Besar, Nabi Muhammad SAW, yang tentunya mencari keridhoan dalam menuju tingkatan taqwa sebenar-benarnya terutama bagi yang masih dangkal pemahaman tentang keislaman




Tidak ada komentar :

Posting Komentar