TUTWURI ANDAYANI


Selasa, 12 Juli 2011

Kisah, Indahnya Istri Shalihah

Indahnya Istri Shalihah


Rumah tangga bahagia? wah siapa yang tak kepingin? Ini sebuah kisah perjalanan rumah tangga seorang istri yang mencintai suaminya semata-mata karena cintanya kepada Allah


Hidayatullah.com--Hari itu merupakan hari bahagiaku, alhamdulillah. Aku telah menyempurnakan separo dienku: menikah. Aku benar-benar bahagia sehingga tak lupa setiap sepertiga malam terakhir aku mengucap puji syukur kepada-Nya.

Hari demi hari pun aku lalui dengan kebahagiaan bersama istri tercintaku. Aku tidak menyangka, begitu sayangnya Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadaku dengan memberikan seorang pendamping yang setiap waktu selalu mengingatkanku ketika aku lalai kepada-Nya. Wajahnya yang tertutup cadar, menambah hatiku tenang.

Yang lebih bersyukur lagi, hatiku terasa tenteram ketika harus meninggalkan istri untuk bekerja. Saat pergi dan pulang kerja, senyuman indahnya selalu menyambutku sebelum aku berucap salam. Bahkan, sampai saat ini aku belum bisa mendahului ucapan salamnya karena selalu terdahului olehnya. Subhanallah.

Wida, begitulah nama istri shalihahku. Usianya lebih tua dua tahun dari aku. Sekalipun usianya lebih tua, dia belum pernah berkata lebih keras daripada perkataanku. Setiap yang aku perintahkan, selalu dituruti dengan senyuman indahnya.

Sempat aku mencobanya memerintah berbohong dengan mengatakan kalau nanti ada yang mencariku, katakanlah aku tidak ada. Mendengar itu, istriku langsung menangis dan memelukku seraya berujar, “Apakah Aa’ (Kakanda) tega membiarkan aku berada di neraka karena perbuatan ini?”

Aku pun tersenyum, lalu kukatakan bahwa itu hanya ingin mencoba keimanannya. Mendengar itu, langsung saja aku mendapat cubitan kecil darinya dan kami pun tertawa.

Sungguh, ini adalah kebahagiaan yang teramat sangat sehingga jika aku harus menggambarkanya, aku tak akan bisa. Dan sangat benar apa yang dikatakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dunia hanyalah kesenangan sementara dan tidak ada kesenangan dunia yang lebih baik daripada istri shalihah.” (Riwayat An-Nasa’i dan Ibnu Majah).

Hari terus berganti dan tak terasa usia pernikahanku sudah lima bulan. Masya Allah.

Suatu malam istriku menangis tersedu-sedu, sehingga membangunkanku yang tengah tertidur. Merasa heran, aku pun bertanya kenapa dia menangis malam-malam begini.

Istriku hanya diam tertunduk dan masih dalam isakan tangisnya. Aku peluk erat dan aku belai rambutnya yang hitam pekat. Aku coba bertanya sekali lagi, apa penyebabnya? Setahuku, istriku cuma menangis ketika dalam keadaan shalat malam, tidak seperti malam itu.

Akhirnya, dengan berat hati istriku menceritakan penyebabnya. Astaghfirullah…alhamdulillah, aku terperanjat dan juga bahagia mendengar alasannya menangis. Istriku bilang, dia sedang hamil tiga bulan dan malam itu lagi mengidam. Dia ingin makan mie ayam kesukaanya tapi takut aku marah jika permohonannya itu diutarakan. Terlebih malam-malam begini, dia tidak mau merepotkanku.

Demi istri tersayang, malam itu aku bergegas meluncur mencari mie ayam kesukaannya. Alhamdulillah, walau memerlukan waktu yang lama dan harus mengiba kepada tukang mie (karena sudah tutup), akhirnya aku pun mendapatkannya.

Awalnya, tukang mie enggan memenuhi permintaanku. Namun setelah aku ceritakan apa yang terjadi, tukang mie itu pun tersenyum dan langsung menuju dapurnya. Tak lama kemudian memberikan bingkisan kecil berisi mie ayam permintaan istriku.

Ketika aku hendak membayar, dengan santun tukang mie tersebut berujar, “Nak, simpanlah uang itu buat anakmu kelak karena malam ini bapak merasa bahagia bisa menolong kamu. Sungguh pembalasan Allah lebih aku utamakan.”

Aku terenyuh. Begitu ikhlasnya si penjual mie itu. Setelah mengucapkan syukur dan tak lupa berterima kasih, aku pamit. Aku lihat senyumannya mengantar kepergianku.

“Alhamdulillah,” kata istriku ketika aku ceritakan begitu baiknya tukang mie itu. “Allah begitu sayang kepada kita dan ini harus kita syukuri, sungguh Allah akan menggantinya dengan pahala berlipat apa yang kita dan bapak itu lakukan malam ini,” katanya.  Aku pun mengaminkannya.* (Kusnadi Assaini/Hidayatullah)

”Akhirnya, Kuperbaiki Ibadahku”

Sebentar lagi Ramadhan tiba. Rindu sekali menjalani hari-hari di bulan suci ini.
Untuk menyambut Ramadhan tahun ini, aku sajikan tulisan pengalaman seorang ibu yang sangat menyentuh... selamat membaca.

Aku belum tahu, rahasia apa sesungguhnya yang diberikan Allah atas segala musibah ini.   Tapi, semuanya membuat aku lebih dekat denganMu, Ya Allah!
Hidayatullah.com--Ramadhan tahun ini sudah di depan mata. Rasa syukurku tiada habisnya, mensyukuri segala nikmat yang telah diberikan Alloh SWT. Mengingat kembali Ramadhan dan Lebaran, masih ada haru yang tersisa.
Satu tahun yang lalu, 1 Rajab 1427 Hijriyah, alhamdulillah anakku yang kedua telah lahir, laki-laki, kuberi nama Fawwaz Ihsan. Bagiku nama adalah doa. Aku berharap anakku akan menjadi anak yang ihsan, senantiasa mendapatkan kemenangan dan kebaikan dari Alloh Maha Pencipta.
Kebahagiaanku saat itu tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Doaku telah dikabulkan. Setelah 7 tahun yang lalu aku dikaruniai seorang anak perempuan, Allah mengabulkanku memiliki anak laki-laki. Tapi, mungkin ini kesempatanku yang terakhir untuk bisa mengandung. Dokter melarangku untuk mengandung lagi. Selama 9 bulan aku mengandung, aku sering mengalami gangguan kesehatan. Mulai dari vertigo yang cukup serius hingga aku harus menjalani perawatan dokter spesialis syaraf terus menerus sampai saat melahirkan tiba.
Di awal-awal kehamilanku dokter kandunganku juga telah memberitahu bahwa aku mengalami placenta previa, sehingga aku harus melewati saat-saat yang dinanti semua wanita itu melalui operasi caesar kembali. Tidak hanya itu saja gangguan kesehatan yang aku alami. Di usia 6 bulan kehamilan, hemorhoid atau sering juga disebut wasir sejak lama aku alami, semakin parah hingga cukup mengganggu.
Saat itu kandunganku yang kedua memasuki usia 7 bulan. Tiba-tiba di suatu malam aku pingsan!!! Tidak sadarkan diri. Saat itu suami dan anakku berlari ke tetangga mencari pertolongan. Untunglah aku mempunyai tetangga-tetangga yang baik. Dengan dibantu tetangga, suamiku segera membawaku ke dokter kandungan untuk menjalani pemeriksaan. Terpaksa, anakku yang pertama, Tia, dititipkan di rumah tetangga. Aku dirujuk ke rumah sakit. Dugaan dokter aku mengalami gangguan usus buntu akut. Dan ternyata setelah menjalani pemeriksaan lebih lanjut, dokter bedah mengharuskan aku untuk operasi appendix (usus buntu).
Keputusan dokter itu membuatku gamang. Betapa tidak, di satu sisi aku bersyukur karena sakit yang kurasakan kurang lebih selama 6 tahun telah diketemukan penyebabnya. Namun di sisi yang lain, aku bertanya kenapa harus sekarang? Mengapa harus aku alami di saat aku tengah hamil? Bagaimana dengan bayi yang kukandung? Tak seorang pun yang bisa menjawabnya. Tidak juga dokter.
 ***
Dua bulan menanti melahirkan, aku terus memperdengarkan lantunan ayat-ayat suci Al-Quran dari radio untuk bayiku melalui tape recorder atau aku bacakan sendiri. Bekas operasi usus buntuku juga masih sakit. Sementara itu,  perutku terus membesar. Menurut hasil USG, Insya Alloh anak yang berada dalam kandunganku adalah laki-laki.
Tanggal 27 Juli 2006, adalah tanggal yang ditetapkan dokter bagiku untuk menjalani operasi melahirkan. Sebelum berangkat, aku berpamitan ke tetangga juga pada anakku yang pertama agar ikut mendoakanku adiknya.
Di rumah sakit, semua siap menungguku. Kulihat dokter kandungan, dokter anak, dan dokter anestesi serta para asistennya sudah berada di ruang operasi. Di atas meja operasi, surat Al fatihah tiada henti aku ucapkan. Operasi kali ini kurasakan lebih berat. Aku mual dan muntah sepanjang operasi. Sesak dan sulit bernapas. Aku dengar asisten dokter berkata, "Dok, pendarahan..." Aku terus berdoa. Sebentar kemudian aku mendengar suara seperti suara sebuah alat menyedot cairan. Beberapa menit kemudian terdengar lagi asisten dokter berkata, "Dok, pendarahan lagi..." Sebentar kemudian aku mendengar lagi suara seperti suara sebuah alat menyedot cairan. Dan kejadian seperti itu berulang sampai tiga kali. Suara asisten dokter terdengar lagi, "Dok, tensi turun 100/54..." Aku masih terus berdoa. Beberapa waktu kemudian dokter berkata," Siap-siap ya ... dorong,". Sesaat kemudian perutku didorong hingga beberapa detik aku tidak bisa bernapas. Aku merasa dorongan itu adalah untuk mengeluarkan bayi dalam perutku. Aku merasa sangat lemas dan bertambah sesak.
Tiga jam di meja operasi terasa sangat lama bagiku. Alhamdulillah semuanya sudah terlewati. Aku telah dipindahkan ke kamar. Meski lemas, aku masih bisa berpikir," Mengapa tak terdengar tangis bayiku?" Ah,.... semoga tidak apa-apa. Tak lama kemudian seorang perawat menunjukkan kepadaku seorang bayi," Ini, Bu bayinya. Laki-laki. Beratnya 3,7 panjangnya 50.".  Aku hanya bisa mendesah pelan," Alhamdulillaah..."
Tapi tetalu lama aku menunggui bayiku. Biasanya, sesudah dibersihkan segera diberikan ke ibunya untuk segera disusui yang pertama. Saat kutanyakan kepada suami, ia hanya tersenyum dan mengatakan bahwa bayiku diletakkan di ruangan khusus.
Ketika dokter kandungan menjengukku, betapa kagetnya aku saat mendengar jawaban bayiku dirawat di Neonatus Intensif Care Unit (NICU). Suamiku tak paham, jika yang dimaksud dengan ruangan khusus bayi itu adalah NICU. Biasanya, bayi-bayi yang ditempat di tempat ini karena membutuhkan  perawatan khusus untuk mempertahankan kehidupannya. Ia tak pernah bertanya mengapa bayi kami diletakkan di sana.  Ah ... begitulah suamiku.  Mungkin ini bedanya kasih seorang bapak dan ibu.
Aku merenung, ujian apa lagi yang diberikan Alloh padaku. Baru sebentar aku merasa bahagia. Tapi ternyata kebahagiaanku itu tak berlangsung lama. Enam jam setelah lahir, bayiku masuk NICU karena biru. Ketika aku tanyakan apakah tidak ada kemungkinan kelainan jantung, dokter anak memberikan penjelasan bahwa itu bisa saja terjadi karena penyesuaian suhu dari rahim menuju ke dunia luar. Syukurlah. Dua hari di NICU, akhirnya bayiku dipindah ke ruanganku. Betapa bahagianya aku saat menyusui tiba. Tapi aku sedikit heran karena berbeda dengan kakaknya dulu. Bayiku ini tidak begitu suka minum. Ada perasaan tidak enak di hatiku. Hanya semalam aku bersama bayiku.
Keesokan harinya kulihat wajah bayiku kuning. Kembali bayiku dirawat di ruang terpisah. Aku bertanya-tanya dalam hati, apakah tidak menangisnya bayiku ketika lahir adalah suatu pertanda? Mengapa bayiku berwarna biru? Dan mengapa sekarang berwarna kuning?
Sehari setelah dipisahkan dariku, kembali aku bisa bersama dengan bayiku dalam satu ruangan yang sama. Meski begitu, kami berdua belum diijinkan pulang oleh dokter. Bayiku masih terus dipantau dokter. Setiap 2 jam aku harus memberinya minum 10 cc, begitu pesan dokter. Aku jaga jangan sampai bayiku kurang minum lagi. Memang sangat susah membuat dia mau minum. Perutnya digelitiki, kakinya harus dijentik-jentik dengan jari, apapun aku lakukan agar dia mau minum. Sebenarnya menurutku dia sangat ingin minum. Tapi nampaknya dia tidak kuat untuk mengisap. Sering dia tersedak, dan muntah. Lima hari kami berada di rumah sakit, dan alhamdulillah akhirnya kami diijinkan pulang.
Dua hari sepulang dari rumah sakit, aku sempatkan untuk melaksanakan aqiqah untuk Ikhsan, begitu aku memanggilnya.  Semenjak pulang dari rumah sakit, rata-rata dua kali seminggu aku membawa Ihsan ke dokter anak.  Diare yang tak kunjung sembuh, dan biru yang tetap membayang di sekujur tubuhnya membuat perasaanku semakin gundah. Sementara dokter tak jua menemukan penyakitnya. Setiap kali aku bertanya ke dokter, jawabannya selalu sama, "Anak ibu tidak apa-apa”.  Namun kata-kata dokter itu tidak juga membuatku tenang. Periksa ke laborat juga sudah tak terhitung jumlahnya.
Hatiku semakin gelisah jika setiap kali melihat dia menangis. Tubuhnya membiru bahkan cenderung hitam jika dia menangis. Dadanya bentuknya aneh. Kadang dadanya naik turun dengan cepat saat dia bernafas, kadang juga nafasnya berhenti beberapa saat lamanya. Kepalanya sering mengangguk-angguk saat dia bernapas. Aku sering berdebat dengan suamiku. Menurutku ada sesuatu dengan anak keduaku ini. Tapi menurut suamiku Ihsan mewarisi kulit kakeknya, hitam, dan nafas seperti itu biasa untuk bayi, tidak apa-apa. Aku tetap tidak bisa menerima argumennya. Apalagi setiap tamu yang menjenguk selalu mengatakan kulit Ihsan biru. Kukunya pun biru. Bahkan bibir dan lidahnya juga biru. Dan aku memang melihatnya begitu.
Setiap hari sejak dia berada di rumah, hampir tidak pernah mau ditidurkan di tempat tidurnya. Maunya selalu minta digendong. Itupun masih sering rewel juga. Nyaris aku tidak punya waktu untuk istirahat. Satu hal yang agak melegakan hatiku, Ihsan hanya mau minum ASI, tidak susu yang lain. Itu yang membuat aku bersemangat untuk tetap memberikan ASI yang terbaik untuknya. Aku jaga makananku agar ASI ku cukup untuknya. Tapi mungkin karena faktor umur, ASI ku tak sebanyak dulu. Suplemen-suplemen untuk melancarkan ASI ku minum, makan sayuran yang banyak, semua kulakukan agar ASI ku tetap ada untuknya.
Sampai Ihsan berusia 56 hari, biru di sekujur tubuhnya masih tetap ada. Aku putuskan membawanya lagi ke dokter, dan aku sudah bertekad akan aku cari apa penyebabnya ke manapun. Aku sudah tidak sabar lagi mencari jawaban atas keanehan-keanehan yang terjadi pada Ihsan. Aku sudah tak tega lagi melihat penderitaannya. Walaupun aku ditentang suami dan mertuaku, aku sudah bertekad untuk mencari jawabannya. Dan aku berdoa mudah-mudahan segera diberikan petunjuk oleh Alloh swt. Sebenarnya dokter masih saja bersikukuh dengan jawaban yang sama, tidak apa-apa. Sekali lagi aku berusaha menjelaskan bagaimana kondisi anakku setiap harinya. Tubuh dan kuku masih tetap membiru, dan semakin menghitam jika dia menangis. Sering muntah melalui hidung, dan diare yang tak kunjung berhenti. Berat badan yang semakin hari tidak juga bertambah. Hingga akhirnya aku memohon ke dokter, "Sebaiknya saya harus kemana, Dok, agar saya bisa menemukan jawaban?".
Akhirnya dokter menyarankan aku untuk mencoba memeriksakan Ihsan ke dokter spesialis jantung anak, dengan membawa surat pengantar dari beliau. Karena tekadku sudah bulat, saat itu juga aku langsung membawa Ihsan ke Prof. Dr. Teddy, seorang dokter spesialis jantung anak.
"Ibu, anak ibu sudah kritis. Dia gagal jantung. Kenapa baru dibawa ke sini?" dengan nada agak tinggi dr. Teddy berkata kepadaku, saat keesokan harinya aku bawa anakku ke sana. Aku dan suamiku terdiam, tak tahu harus berkata apa. Pandangan mata kami menatap ke dr. Teddy seakan tak percaya. "Sekarang juga anak ini harus opname di RS Dr. Sutomo, anak ini sesak nafas!" begitu kata-kata dr. Teddy menyadarkan keterkejutan kami.
Sepanjang perjalanan pulang dari tempat praktek dr. Teddy ke rumah, aku tak bisa menahan tangisku. Suamiku hanya diam sambil menggendong Ihsan dalam pelukannya. Diciuminya Ihsan. Ada sesal di hati kami, mengapa baru sekarang kami mengetahuinya. Betapa bodohnya kami 56 hari dia menderita tapi tidak seorangpun yang tahu. Aku merasa sangat berdosa pada Ihsan. lbu macam apa aku ini hingga tak tahu apa yang dirasakan anaknya.
Sepanjang hari, apa yang aku lakukan hingga mataku buta, telingaku tuli tak bisa memahami tangisan anak yang telah aku lahirkan sendiri. Aku dan suami saling menyalahkan. Suamiku menyalahkan aku, kenapa selama hamil aku sakit-sakitan, minum bermacam-macam obat, atau mungkin juga pengaruh dari operasi usus buntu? Aku tidak mau kalah. Aku menyalahkan suamiku, ini akibatnya jika waktu hamil ibunya mengalami depresi, mungkin ini juga karena faktor keturunan dari adik suamiku yang meninggal karena kelainan jantung, atau karena suamiku tidak berdoa ketika janin terbentuk dulu. Kami berdua hanya bisa saling menyalahkan dan menyalahkan. Ada nada menggugat Allah. Ya Alloh, dosa dan salah apa yang telah aku lakukan hingga Engkau menguji kami seperti ini?
***
"Anak ini mengalami kelainan jantung TGA dan VSD, Bu. Anak ibu harus menjalani operasi. Dan operasi ini tidak bisa dilakukan di Surabaya. Biayanya kurang lebih 100 juta!".
"Seratus juta, Dokter?" aku mengulangi kata-kata dokter mungkin pendengaranku salah. Tapi ternyata tidak.
"Ya. 100 juta." lanjut dr. Mahrus yang melakukan pemeriksaan echo untuk Ihsan. Aku diam tergugu. Bingung, dari mana aku dapatkan uang sebanyak itu? Sedang tabunganku saat itu tinggal 3 juta. Apakah aku akan membiarkan anakku? Ataukah aku membawanya kembali pulang dan menunggu saat itu tiba? Itu berarti aku menjadi orang tua pengecut, tidak mau berusaha demi kesembuhan anaknya. Tapi jika kuturuti saran dokter, darimana aku memperoleh uang 100 juta?"
"Ya Alloh, Engkau telah belanji tidak akan memberikan ujian kepada umatMu melebihi dari kesanggupannya. Tapi mengapa ya Alloh, Engkau beri aku ujian seperti ini?  Beri kami kemudahan ... Ya Alloh"
Singkat cerita, Alloh memberi jalan. Atas dukungan dari orang tua, saudara, kerabat, tetangga, teman semuanya kami memutuskan untuk berangkat ke Jakarta. Di Rumah Sakit Pusat Jantung Nasional Harapan Kita di Jakartasaya bisa menggunakan Askes PNS. Dan kami cukup menyediakan uang sekitar 15 juta. Orang tua, mertua, sanak saudara dengan ikhlas membantu kami. Mereka harus mengambil uang tabungan yang juga tidak banyak, Bahkn ada yang menjual tanah yang tidak seberapa luas, dan menjual perhiasan yang juga tidak seberapa. Suamiku juga menawarkan rumah kami untuk dijual, namun,  sampai saat ini belum juga laku terjual.
Tapi masih juga ada masalah, Ihsan harus tetap memakai oksigen dan infus untuk ke Jakarta. Maskapai penerbangan yang punya fasilitas seperti itu hanya Garuda Airlines. Dan itu harus melalui ijin khusus dan deposit sebesar $ 1,000 atau Rp. 16 juta. Alhamdulillah, Alloh masih memberi kemudahan. Tanpa diduga. Atasan suamiku, bersedia membantu mengurus ijin dan tiketnya, sekaligus meminjami uang kepada kami.
Akhirnya, di hari ke-3 bulan Ramadhan, Ihsan, aku, suamiku, dan seorang perawat yang mendampingi selama perjalanan ke Jakarta, berangkat menuju bandara Juanda dengan diantar ambulan. Semua orang, termasuk orangtuaku, mertua,tetangga dan teman-teman kerja suamiku,  mengantar keberangkatan kami sampai ke bandara.  Sebelum berangkat, Bapakku berpesan "Jangan lupa baca terus Laa haula walaa quwwata illa billah." Air mata ini semakin deras, saat aku berpamitan ke Tia, anak kami pertama. Dengan keberangkatan ke Jakarta, otomatis, kami harus meninggalkan Tia untuk waktu yang tidak jelas. 
”Ya Allah, hanya Engkau yang mampu hadir dalam segala kesedihanku. Menyediakan diriMu untuk selalu mendengar curahan-curahan kesedihanku yang tak mungkin seorang pun tahu.  RahasiaMu yang Maha Besar mungkin belum bisa kucerna, atau mungkin kehendakMu ini adalah untuk membuat aku lebih tegar menghadapi sisa umurku..”
”Aku titipkan anak-anakku padaMu ya Allah, karena hanya Engkaulah yang bisa membimbing mereka, dan hanya Engkaulah yang aku yakini dapat menjadikan mereka menjadi orang-orang yang baik dan terpilih.”
Akhir Ramadhan
TGA, VSD ...!!!
Dulu, huruf-huruf itu tak mempunyai makna bagiku. Tapi sekarang ini, huruf-huruf itu tidak asing lagi bagiku. TGA adalah Transposition of the Great Arteries, dimana secara umum bisa diartikan bahwa aorta tertukar tempatnya dengan arteri pulmonalis, sehingga fungsinya pun tidak normal. Itulah yang menyebabkan darah yang mengalir di tubuh tidak mengandung oksigen, dan membuat si penderita menjadi biru. Untuk dapat bertahan hidup, tergantung dari peran lubang-lubang pada sekat jantung (VSD= Ventricular Septal Defect).
Di RS Harapan Kita peralatannya lebih lengkap dan canggih. Pelayanan dokter maupun perawatnya pun sangat baik. Ruang khusus untuk anak berada di lantai 7 dan lantai 8. Di sana dokter yang bertugas cukup banyak. Hampir semua dokter mengatakan aku harus siap mental. Benar-benar harus siap mental.
"Bu, anak ibu mengalami kelainan jantung TGA. lbu banyak doa aja, karena TGA itu kasus yang paling sulit. Operasinya lebih rumit, dan kemungkinan di ICUnya juga lebih lama. lbu harus siap mental"      
Ada yang mengatakannya dengan halus, namun ada juga yang menyampaikannya dengan nada merendahkan, "Kalau TGA mah banyak doa aja, deh. Tunggu keajaiban. Apalagi udah 2 bulan usianya!"
Ya Alloh…….ujian ini begitu berat bagiku. Mengapa justru di saat aku merasa lebih dekat denganMu di sepanjang usiaku, Engkau memberiku ujian seperti ini. Mengapa Ramadhan kali ini harus kulalui seperti ini?.
Ya Allah....jika dengan ini imanku padaMu bertambah, aku amat rela dan memang hanya padaMu aku berserah diri. Aku tidak memintaMu untuk mengambilnya dariku sehingga aku melupakanMu, namun aku mohon kuatkanlah pundakku agar terasa ringan aku memikulnya.
***
Ramadhan 1427 H, aku berdua dengan suamiku menunggui Ihsan. Ramadhan kali ini kami jalani dengan keprihatinan. Aku masih belum berpuasa karena aku harus menjaga ASI ku yang semakin hari semakin berkurang. Beban fikiran, serta sulitnya mendapat sayuran membuat ASIku semakin berkurang. Terlebih lagi aku memberikan ASI tidak bisa secara langsung, akan tetapi harus dipompa dulu, karena Ihsan minum melalui selang yang dimasukkan lewat hidungnya. Minumnya diukur menurut ukuran tertentu.
Istighfar, tasbih, dan tahmid hampir tiada henti terucapkan. Berdoa dan membaca Al Quran adalah kebutuhan bagi kami. Barangkali ini hikmahnya. Alloh ingin mendengar doa-doa kami. Selama menunggu waktu operasi bagi Ihsan, aku sendiri menyaksikan anak-anak yang mengalami TGA memang lebih mengkhawatirkan. Batas waktu usia bagi penderita TGA menurut teori kedokteran hanya 3 bulan! Waktu yang terbaik dilakukan operasi adalah sebelum 3 bulan. Jika dilakukan operasi, operasinya memakan waktu 7-8 jam, dirawat di ICU sampai 13 hari. Bahkan pernah keluarga pasien dipanggil dokter karena pasien kritis. Ada lagi pasien TGA dari Yogya yang operasinya tidak berhasil, dan pasien meninggal di meja operasi. Ada juga pasien TGA yang meninggal sebelum dilakukan operasi. Tapi ada juga pasien TGA hingga berusia 12 tahun baru dilakukan pembedahan! Subhanallah.....
Dokter-dokter lebih sering mengingatkan aku untuk menyiapkan mental. Operasi apapun, apalagi jantung, kata dokter, tak bida dikalkulas keberhasilannya. Aku terkesiap mendengar jawaban dokter. Astaghfirullah....hampir aku lupa dengan kuasaMu ya Alloh... Upaya apapun, hanya Engkau yang punya hak, Ya Allah.
Anakku ditangani banyak ahli.  Dr. Poppy, dokter spesialis jantung anak adalah dokter yang sangat baik. Dr. Yusuf Rakhmat, dokter spesialis bedah jantung --yang akan melakukan operasi nanti-- adalah dokter bedah senior. Banyak orang yang tak pernah kukenal sebelumnya menjenguk kami di rumah sakit. Ini dorongan bagi kami untuk terus tabah menjalani ujian ini. Mereka dengan sukarela menawarkan bantuan kepada kami jika kami membutuhkan. Subhanalloh..
17 Oktober 2006, kurang lebih seminggu sebelum Idul Fitri tiba, jadwal operasi yang ditetapkan dokter untuk Ihsan. Menjelang operasi, kutemani Ihsan menjalani puasanya. Kutidurkan ia di pangkuanku dan kupandangi wajahnya sepuas-puasnya. Kuletakkan tangan kananku tepat di jantungnya. Kupanjatkan terus doa Alloohumma robbannaasi adzhibil ba'sa wasyfi antasysyaafi laa syifaa-a illaa syifaa-uka syifaa-an laa yughoodiru saqomaa, ya Alloh.. (Tuhan Manusia, hilangkanlah bencana ini dan sembuhkanlah. Engkaulah Dzat Yang Maha Penyembuh, tiada penyembuhan kecuali penyembuhanMu dengan kesembuhan yang tiada menyisakan sakit sedikitpun).
Air mata ini tetap mengalir. Ada terbersit dalam benakku, jika Alloh memberinya kesembuhan, aku masih akan bisa memeluknya. Tapi .... jika Alloh berkehendak yang lain, maka waktuku bersama Ihsan hanya tinggal beberapa jam saja...
Hari Ahad pagi, tepat jam 7.30 menjelang Idul Fitri  Ihsan menjalani operasi. Pukul 15.30, hampir delapan jam operasi baru selesai. Dan aku dan suamiku hanya bisa melihatnya dari jendela kaca di ICU.
Sejak berada di ICU, aku dan suamiku,  menjadi lebih akrab dengan para orangtua yang juga menunggu anaknya. Kami merasa dekat dan senasib.
Menjelang Idul Fitri tiba, dokter dan perawat yang Muslim banyak yang mengambil cuti. Yang bertugas di hari-hari itu kebanyakan adalah dokter dan perawat non-Muslim. Suasana di rumah sakit menjadi sepi. Pasien-pasien ICU banyak yang sudah dipindahkan ke Intermediate Ward (IW). Pasien- pasien yang ada di lantai 7 pun banyak yang telah diijinkan pulang. Rumah sakit tidak menjadwalkan operasi lagi, kecuali jika ada emergency. Tinggal Ihsan dan Amel dari Solo yang ada di ICU. Aku merasa nelangsa. Semestinya di hari-hari seperti ini, semua berkumpul dengan keluarga besar, merayakan hari Lebaran. Mempersiapkan kue-kue lebaran, menyiapkan baju baru untuk anak-anak. Tapi kali ini tidak. Aku semakin sedih saat anakku, Tia, mengirimkan sms untukku, "Ibu, bapak, adik, Tia kangen. Kapan bapak, ibu, dan adik pulang? Sebentar lagi hari raya. Lebaran pulang ya Bu..."
Idul Fitri 1 Syawal 1427 telah tiba. Ihsan masih di ICU juga. Hari itu SMS banyak sekali masuk mengucapkan selamat idul fitri. Aku malas membalasnya. Bukan karena apa, aku hanya tidak ingin perasaanku terbawa sedih. Dari jendela toilet di lantai  7 aku melihat orang-orang bersama-sama keluarganya berbondong-bondong berangkat sholat led. Aku iri melihat mereka. Mengapa aku harus berada di sini? Dalam kondisi seperti ini? Takbir dari masjid-masjid di sekitar rumah sakit terdengar jelas. Aku tidak mau menangis. Cepat-cepat aku keluar dari toilet, dan kembali ke ruang tunggu ICU di lantai 8. Aku menunggu suamiku sholat led.
Ku lihat suamiku menangis. Ketika kutanya ada apa, dia tidak bisa menjawab, hanya menangis. Setelah agak tenang, dia baru bercerita baru saja dia menerima telfon dari adik-adiknya dan mertuaku. Semuanya menangis.
Semantara teman Ikhsan, Amel, dari Solo sudah dipindahkan ke IW, karena sudah membaik. Tinggal Ihsan sendiri di ICU. Aku mulai putus asa. Kondisi Ihsan belum juga membaik. Bahkan dari keterangan dokter diduga Ihsan mengalami sepsis, infeksi yang menyebar ke seluruh tubuh. Ya Alloh... aku benar-benar putus asa. Setiap jam 2 malam aku selalu sholat memohon keajaiban padaMu, membaca Al-Quran hingga fajar tiba, tapi mengapa belum berakhir juga ujianMu padaku? Ataukah ini hukuman bagiku? Dosa apa yang telah aku lakukan sehingga Engkau menjadi murka?
Selama dua bulan Ihsan, aku, dan suamiku di Jakarta berihtiar mencari kesembuhan. Akhirnya, pada 24 November 2006 kami pulang kembali ke Surabaya. Alhamdulillah sekarang semua sudah aku lewati.  Ikhsan, sudah boleh dibawah pulang. Walau setelah itu kami masih diberi ujian lagi, Ihsan baru saja khitan, karena adanya fimosis. Saat menulis ini, typhusku juga tengah kambuh, setelah 2 bulan yang lalu aku menjalani rawat inap. Dan si Ikhsan, juga mengalami gangguan pada hati.
Berbagai ujian yang diberikan padaku, akhirnya membuat aku belajar introspeksi diri. Kuperbaiki ibadahku, berusaha selalu berbuat baik pada siapapun, lebih banyak bersedekah. Dan, berusaha untuk selalu bersabar. Mudah-mudahan Alloh memberi kemudahan bagiku, sehingga aku bisa melanjutkan lagi studiku yang sempat tertunda. Mudah-mudahan pula,  semua orang yang telah memberikan pertolongan pada kami sekeluarga, walau sekecil apapun, akan diberikan kelipatgandaan barokah dari Alloh swt.  Alloohumma a’innaa 'alaa dzikrika, wa syukrika, wa husni ‘ibaadatik (Ya Alloh.. tolonglah kami untuk dapat berdzikir kepada Mu, mensyukuri nikmat Mu, dan beribadah dengan baik kepada Mu).
Semoga Ramadhan dan Idul Fitri tahun ini dan seterusnya akan berganti dengan keceriaan.  Tak lupa, teriring ucapan ”Selamat Ramadhan!” Amin.
[Dikisahkan Ny. Lusia Rokhmawati, Surabaya. Tulisan ini aku persembahkan untuk direnungkan olehku, suami, Tia, Ikhsan dan yang bisa mengambil pelajaran darinya. Tanggapan bisa dikirim ke via emai:  mas_fufah@yahoo.com Alamat e-mail ini telah dilindungi dari tindakan spam bots, Anda butuh Javascript dan diakti

Tidak ada komentar :

Posting Komentar